Proses Pemindai pada STM

STM merupakan mikroskop yang mampu menghasilkan gambar dalam skala atomik sehingga mampu melihat atom dan molekul.

Mekanisme Pembakaran

Pada artikel ini dibahas secara singkat bagaimana pembakaran terjadi pada senyawa organik terutama polimer

Korosi Celah

Korosi celah disebabkan oleh adanya air yang terjebak pada celah sempit antar sambungan atau retakan.

Material karbon

Saat ini nanomaterial karbon seperti CNT dan grafen banyak menarik perhatian karena sifatnya yang unik.

Zeolit

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Formulasi Coating

Tentunya kita sering melihat benda-benda di sekitar kita dilapisi oleh cat atau coating mulai dari jembatan, tangki air, mobil, pesawat, baja struktural, kapal, kayu, mebel, blok beton, peralatan listrik, dinding, kaleng pembungkus makanan, dan sebagainya. Coating tersebut selain digunakan untuk menambah nilai estetika, juga untuk melindungi material dari korosi, panas, aus, dan sebagainya sehingga menambah umur layanan material tersebut.



Namun taukah anda bahwa untuk tiap-tiap jenis material membutuhkan coating yang berbeda? Karena itu tahapan pertama yang sangat penting dalam penentuan formulasi coating adalah mengetahui coating itu akan digunakan untuk apa. Ini adalah pertanyaan yang sangat penting mengingat setiap coating bersifat spesifik. Sebagai contoh adalah coating primer seperti ethyl silicate-zinc-rich yang dapat memberikan ketahanan korosi pada baja struktural ternyata akan mengalami failure untuk backyard deck.

Hal yang menentukan sifat-sifat suatu coating adalah komposisi dari coating itu sendiri. Umumnya coating mengandung empat bahan dasar, yaitu binder, pigmen, solven dan aditif. Sangatlah penting bagi formulator untuk memahami fungsi dari bahan-bahan dasar ini dan mengetahui bagaimana mereka saling berinteraksi.

Binder
Binder berfungsi sebagai pengikat antar komponen coating dan juga bertanggung jawab terhadap gaya adhesi coating terhadap substrat. Terdapat banyak binder yang telah dikenal, diantaranya alkyd, vinyl, resin alam, epoxy dan urethane.

Hal yang perlu diketahui tentang binder adalah bagaimana mereka mengalami curing. Pada umumnya binder dapat mengalami curing dengan dua cara. Pertama adalah melalui evaporasi solven. Binder yang mengalami curing seperti ini disebut binder thermoplastic atau non-covertible. Kedua adalah lewat reaksi kimia selama atau setelah proses pengecatan. Binder ini dikenal sebagai binder thermosetting.

Selain itu, hal yang harus dipahami dari binder adalah viskositas. Karena merupakan komponen utama dalam coating, viskositas binder sangat menentukan viskositas coating. Coating harus mempunyai viskositas cukup rendah untuk bisa digunakan dengan peralatan pengecatan sederhana (brush, roller atau spray) serta memiliki viskositas cukup tinggi sehingga tidak menetes.

Faktor utama yang menentukan viskositas binder adalah berat molekularnya. Polimer yang mempunyai berat molekul tinggi akan lebih viskous daripada BM rendah. Ada dua cara untuk mengontrol viskositas suatu coating, yaitu dengan memvariasi berat molekul binder atau dengan menambahkan sejumlah solven.

Pigmen
Pigmen merupakan pemberi warna dari coating. Selain berfungsi dalam hal estetika, pigmen juga mempengaruhi ketahanan korosi dan sifat fisika dari coating itu sendiri.

Pigmen dapat dikelompokkan menjadi pigmen organik dan anorganik. Pigmen anorganik contohnya adalah titanium dioksida dan besi oksida. TiO2 merupakan pigmen putih yang paling banyak digunakan, biasanya untuk coating eksterior. TiO2 mempunyai indeks reflaksi yang tinggi dan stabil terhadap sinar ultraviolet dari sinar matahari yang dapat mendegradasi binder coating. Besi oksida merupakan pigmen merah yang digunakan untuk coating primer ataupun topcoat. Terdapat juga extender pigmen yang memberikan sedikit pengaruh terhadap warna dan ketahanan korosi namun banyak mempengaruhi sifat-sifat coating seperti densitas, aliran, hardness dan permeabilitas. Contohnya adalah kalsium karbonat, kaolin, talc dan barium sulfat (barytes).

Solven
Kebanyakan coating memerlukan solven untuk melarutkan binder dan memodifikasi viskositas. Hal penting yang harus diperhatikan dalam penentuan solven adalah kemampuannya dalam melarutkan binder dan komponen coating yang lain. Prinsip kelarutan sangatlah sederhana, yaitu like dissolves like. Artinya solven polar akan melarutkan senyawa yang polar juga.

Selain itu laju penguapan solven juga perlu diperhatikan. Solven yang mempunyai tekanan uap tinggi sehingga menguap dengan cepat disebut fast atau hot solvent, sedangkan yang lambat disebut slow solvent. Laju penguapan mempengaruhi sifat-sifat coating dan beberapa cacat dapat disebabkan karena ketidak cocokan dalam pemilihan solven. Jika solven menguap terlalu cepat, coating tidak cukup waktu untuk membentuk lapisan halus dan kontinu.

Aditif
Aditif adalah senyawa-senyawa kimia yang biasanya ditambahkan dalam jumlah sedikit, namun sangat mempengaruhi sifat-sifat coating. Bahan-bahan yang termasuk aditif adalah surfaktan, anti-settling agent, coalescing agents, anti-skinning agents, catalysts, defoamers, ultraviolet light absorbers, dispersing agents, preservatives, driers dan plasticizers.


Konsep Formulasi:
Setelah menentukan komponen-komponen untuk coating, maka mereka harus disatukan dalam jumlah yang sesuai. Berikut ini adalah parameter-parameter yang penting untuk formulasi coating.

1. Rasio pigmen/binder
Merupakan perbandingan berat pigmen terhadap berat binder. Topcoat biasanya memiliki P/B 1,0 atau kurang sedangkan primer coating mempunyai O/B 2-4. Coating gloss biasanya mempunyai P/B yang lebih rendah daripada coating flat.

2. Konsentrasi volume pigmen (PVC)
Pigmen volume concentration (PVC) merupakan rasio volume pigmen terhadap volume total binder dan pigmen. Dua jenis coating dapat memiliki nilai P/B yang sama namun sangat berbeda nilai PVCnya. Secara sederhana hal ini dapat dihasilkan dengan menggunakan pigmen dengan densitas yang berbeda.

Nilai PVC dimana terdapat jumlah binder yang tepat untuk menghasilkan lapisan tipis permukaan secara sempurna untuk setiap partikel dari pigmen merupakan nilai PVC kritis (CPVC). Di atas nilai CPVC, tidak ada cukup binder untuk membasahi semua pigmen. Sedangkan di bawah nilai cPVC, terdapat kelebihan binder.

Beberapa sifat coating dapat secara signifikan dipengaruhi oleh variasi formulasi PVC. Ketahanan abrasi dan kekuatan tarik terbaik biasanya terjadi apabila formulasi coating berada di bawah nilai CPVC dan secara cepat akan menurun ketika mendekati nilai CPVC. Pada formulasi di bawah CPVC, permeabilitas coating biasanya rendah dan secara cepat akan meningkat ketika CPVC dilewati. Karena adanya kerusakan sejumlah sifat-sifat fisik, kebanyakan coating eksterior kinerja tinggi seharusnya diformulasikan di atas CPVC.

3. Densitas, berat solid dan volume solid
Densitas, berat solid dan volume solid serta %binder dan %pigmen seringkali disebut sebagai konstanta fisik dari coating. Densitas biasanya dinyatakan dalam satuan pound per gallon. Berat solid coating biasanya dalam bentuk %non volatile, merupakan berat solid dibagi dengan berat total coating. Volume solid adalah %volume material non-volatil. Volume solid menentukan berapa luas are yang dapat dicoating. Kemudian %binder dan %pigmen merupakan persentase binder dan pigmen dalam coating.

Seorang formulator harus mengetahui kuantitas ini dan bagaimana untuk mengukurnya. Densitas coating diukur menggunakan pyncnometer. Berat padatan dapat dihitung dari formula coating atau ditentukan dengan menentukan berat material nonvolatil yang tetap ada setelah coating dievaporasi di dalam oven.

Sekilas tentang nitrogen cair

Berhubung tiap hari menggunakan nitrogen cair, ada beberapa hal yang saya rasa menarik untuk didiskusikan di sini. Di antaranya adalah, ketika nitrogen cair menetes di tangan, kok kerasa gak dingin-dingin amat yaaaa, padahal titik didihnya jauh di bawah 0 oC. Trus, kalau nitogen cair tumpah, ia akan menggelinding seperti mutiara-mutiara kecil yang berhamburan, kok bisa yaaaa...
Baiklah, saya mulai dengan beberapa properti nitrogen cair dan sedikit tentang sejarahnya. Liquid nitrogen atau nitrogen cair yang biasa ditulis dengan singkatan LN2, merupakan Nitrogen dalam fase cairnya, tentunya pada suhu yang relatif sangat rendah. Nitrogen pertama kali dicairkan di Jagiellonian university pada 15 april 1883 oleh fisikawan Zygmunt Wróblewski dan Karol Olszewski. Nitrogen cair diproduksi dengan destilasi fraksinasi dari udara cair. Naaahh, trus bagaimana cara mencairkan udara ??? mungkin bisa dilakukan dengan metode heat exchenger, seperti pada adsorption chiller, heeee. Saya tau diantara yang ngebaca tulisan ini, ada yang cukup ngerti tentang adsorption chiller, mungkin yang bersangkutan bisa posting di sini ???



Nitrogen Cair

Nitrogen cair berpenampakan bersih tak berwarna sepeti air biasa, dengan kerapatan 0,807 g/mL pada temperatur titik didihnya dengan konstanta dielektrik 1,4. Pada tekanan atmosfer, nitrogen cair mendidih pada temperatur 77 K atau setara dengan -196 oC atau -321 oF. Ia merupakan cairan cryogenic yang dapat menyebabkan pembekuan dengan cepat apabila kontak dengan jaringan tubuh makhluk hidup, atau yang lebih dikenal dengan frosbite. Apabila ditempatkan pada kontainer khusus, yakni kontainer isolasi seperti botol vakum, dimana panas tidak dapat keluar masuk, maka nitrogen cair dapat disimpan dengan aman.

Jika nitrogen cair terkonversi menjadi gas, maka rasio perbandingan volumenya adalah sekitar 1:694. Kalau seandainya nitrogen cair menguap dengan cepat, mungkin kejadiannya mirip bom kali yaa, dari volume 1 L tiba-tiba jadi 694 L. Ekspansi tersebut akan menurunkan konsentrasi oksigen di sekitarnya atau mungkin sampai ke titik di mana konsentrasi oksigen nol, sehingga orang yang berada di sekitarnya akan mengalami asphyxiant atau sesak nafas akibat kehabisan oksigen dan meninggal dalam waktu 4 menitan. Selain sangat mudah terkonversi menjadi gas, ternyata nitrogen cair juga sangat mudah untuk dipadatkan. Cukup dengan menurunkan temperaturnya sedikit, pada 63 K atau -210 oC atau -346 oF nitrogen telah berubah ke fasa padatnya. Dengan demikian, ternyata fasa cair nitrogen hanya terjadi pada rentang temperatur yang sempit yakni -210 s/d – 196, kurang lebih 14 derajat. Bandingkan dengan air yang fasa cairnya dari 0 – 100 oC, etanol -114,3 – 78,4 oC, oksigen -218,79 s/d -182,95 oC.



Pengambilan nitrogen cair dari tank

Seperti yang saya utarakan di awal tadi, ketika nitrogen cair tumpah di atas meja lab, kita akan dapat melihatnya menggelinding bebas di atas meja seperti mutiara yang berhamburan beberapa saat sampai akhirnya hilang lenyap sebagai gas, atau ketika nitrogen cair muncrat dan menetes-netes di tangan, kita tidak merasakan dingin yang teramat sangat yang sangat menyakitkan, bahkan mungkin kita akan beranggapan bahwa es batu terasa lebih dingin dari pada nitrogen cair yang menetes di tangan. Kok bisa kayak gitu yaahh?? Harusnya dengan kondisi perbedaan temperatur yang ekstrim, nitrogen akan langsung berubah jadi gas dengan menyerap kalor disekitarnya dan membuat lingkungan sekitarnya sangat dingin. Begitu juga kalau menetes di tangan, secara tiba-tiba kalor dari tangan akan berpindah ke nitrogen cair, seketika itu juga tangan akan merasakan dingin yang teramat sangat.



uap air yang mengembun di saluran nitrogen cair

Tapi ternyata yang terjadi tidak seperti itu, nitrogen cair tidak serta merta menjadi gas jika kontak dengan benda-benda dengan suhu kamar. Nitrogen cair mengalami suatu efek yang dikenal dengan efek Leidenfrost. Efek Leidenfrost adalah suatu fenomena yang hanya terjadi ketika suatu cairan kontak dengan benda yang temperaturnya jauh di atas titik didih cairan tersebut, yakni di antara cairan dan permukaan benda tersebut terbentuk suatu lapisan gas insulator yang menjaga cairan dari segera mendidih atau menguap. Contoh lain dari efek Leidenfrost adalah, celupkan jari anda ke dalam air, dan dalam keadaan basah tersebut, celupkan jari anda ke timbal cair (kira-kira temperaturnya 327,46 oC), maka jari anda tidak akan apa-apa. Tapi ingat, efek ini hanya berlaku pada cairan, tidak berlaku pada padatan atau cairan kental seperti lumpur, dan dalam tempo yang sebentar saja. Kalau lama-lama, tetap saja kerasa dingin (dalam kasus nitrogen cair, cryogenic) dan panas (dalam kasus timbal cair) dan mematikan. Aaahh, seandainya tidak ada lapisan isolator itu, tentu tidak akan pernah kita bermain-main dengan nitrogen cair.

*Sebagian sumber diambil dari wikipedia

Tin Disease (Tin pest)

Kejadian menarik sempat dialami oleh pasukan Napoleon dimana kancing seragam mereka tiba-tiba hancur karena cuaca yang sangat dingin. Apakah yang menyebabkan kejadian ini?

Ini terjadi karena kancing baju mereka terbuat dari timah. Seperti yang telah kita ketahui bahwa timah (Sn) merupakan salah satu logam yang dapat mengalami perubahan alotropi. Pada temperatur kamar, timah putih (fasa β) mempunyai struktur kristal tetragonal berpusat badan. Pada suhu 13,2 oC (55,8 oF) akan terjadi transformasi timah putih menjadi timah abu-abu (fasa α) yang memiliki struktur kristal seperti intan.



Laju transformasi ini berlangsung sangat lambat. Namun dengan menurunnya temperatur (di bawah 13,2 oC), laju transformasi akan meningkat. Transformasi ini menyebabkan peningkatan volume hingga 27%. Adanya ekspansi volume ini menyebabkan disintegrasi logam timah putih menjadi bubuk kasar alotrop timah abu-abu.


Mengapa Dedaunan itu Berubah Warna

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijpun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) (QS: Al-An’am 5:59)


Sering kita melihat daun daun berguguran, sering kita melihat daun daun mulai menguning dan pada akhirnya jatuh. Namun sangat jarang kita memikirkan kejadian sehari-hari yang sebenarnya tidak sederhana, atau bahkan terlampau rumit untuk difahami. Seperti pada daun, mengapa daun berwarna hijau, mengapa ada daun yang berwarna kuning dan bahkan ada yang berwarna merah. Pada proses daun jatuh, awalnya daun berwarna hijau kemudian menguning dan selanjutnya menjadi coklat, dan pada akhirnya jatuh ke tanah.

Senyawa kimia pada daun yang berwarna hijau dikenal dengan klorofil. Fungsi dari klorofil ini adalah menangkap sinar matahari, lebih tepatnya menangkap sebagian sinar matahari untuk selanjutnya digunakan sebagai inisiator pada proses pembentukan gula-gula atau karbohidrat yang lebih kita kenal sebagai proses fotosintesis. Sebenarnya tidak hanya karbohidrat, tetapi juga ada selulosa dan lignin. Selain klorofil yang memberikan warna hijau, juga terdapt xantofil sebagai pigmen warna kuning dan karoteniod sebagai pemberi warna kuning, jingga dan merahSeperti halnya klorofil, xantofil dan karotenoid juga berperan dalam proses fotosintesis, namun tidak sebesar peran klorofil.

Pada musim gugur yang terdapat di negara-negara sub tropis, dedaunan mengalami transformasi warna dari hijau menjadi kekuningan dan merah. Pada akhirnya dedaunan tersebut berwarna coklat sebagai warna kematian bagi daun tersebut. Mengapa dedaunan itu berubah warna? jawaban secara sederhana adalah sebagai berikut, peralihan dari musim panas ke musim gugur juga berarti perubahan iklim. Perubahan temperatur dan perubahan distribusi spektrum cahaya matahari menyebabkan klorofil berada pada kondisi yang tidak optimal, klorofil tidak bekerja secara maksimal, sehingga tumbuhan beradaptasi dengan memunculkan pigmen warna lain yang lebih efisien dalam iklim tersebut. Dalam hal ini, xantofil dan karotenoid bekerja sebagai pengkonversi sinar matahari setelah sebagian besar klorofil hilang. Maka jadilah dedaunan tersebut berwarna kuning atau merah.

Keadaan cuaca semakin dingin, hal ini berarti kelambaban semakin berkurang, udara semakin kering. Guna mengurangi penguapan air, maka pepohonan menggugurkan daunnya. Bagaimana proses pengguguran daun tersebut? Saat ini saya belum mengetahui secara jelas, namun jika saya sudah menemukan jawabannya, akan saya segera posting di sini. Saya menduga, sebagai akibat menguapnya air dari daun, keseimbangan sistem daun menjadi rusak. Klorofil dan pigmen warna lain yang sangat tidak stabil mengalami oksidasi dengan segera yang ditandai dengan munculnya warna coklat. Warna coklat atau gelap yang muncul, merupakan akibat dari rusaknya zat warna akibat proses oksidasi tersebut. Oksidasi zat warna menghasilkan beragam senyawa-senyawa lain yang lebih kecil yang tentunya memancarkan gelombang cahaya yang berbeda, perpaduan perbedaan ini menimbulkan warna coklat. Setelah teroksidasi sempurna, daun pun terlepas, gugur dari tangkai dan jatuh ketanah. Wallahualam bisshowab.



Konsep Kendaraan Hibrida Ramah Lingkungan Berbasis Fuel Cell dan Solar Cell

Perkembangan jumlah penduduk dunia yang sangat pesat telah memaksa penggunaan energi dalam jumlah besar guna melestarikan kelangsungan hidup manusia tersebut. Saat ini sumber energi yang paling banyak digunakan adalah minyak bumi dan bahan bakar mineral lainnya seperti gas bumi dan batu bara, pengguanaan bahan-bahan tersebut sebagai sumber energi telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan diantaranya polusi udara semakin meningkat, gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global serta permasalahan lain yang mengarah pada kelangkaan bahan bakar akibat sumber energi tersebut bersifat tidak dapat diperbaharui.

Penggunaan air sebagai bahan bakar diharapkan dapat mengatasi permaslahan tersebut, selain terdapat melimpah di bumi juga emisi buangan dari kendaraan berbahan bakar air tidak menimbulkan permasalahan lingkungan seperti yang ditimbulkan bahan bakar fosil. Kendaraan dengan sistem solar cell dan fuel cell merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut, dimana air dapat langsung dikonversi menjadi hidrogen dan oksigen yang selanjutnya dialirkan ke sistem fuel cell untuk menghasilkan listrik untuk menggerakkan kendaraan. Salah satu keunggulan dari kendaraan jenis ini adalah tidak perlu menggunakan sistem penyimpan hidrogen sehingga harga produksi kendaraan ini akan lebih murah.

Fuel Cell

Fuel cell merupakan alat konversi energi elektrokimia yang akan mengubah hidrogen dan oksigen menjadi air, secara bersamaan menghasilkan energi listrik dan panas dalam prosesnya sistem elektrokimia (Booth, 1993). Struktur dari divais fuel cell terdiri dari sebuah lapisan elektrolit yang bergubungan dengan anoda dan katoda berpori pada kedua sisinya. Skema dari sistem fuel cell lengkap dengan reaktan, produk dan ion yang mengalir melalui elektrolit disajikan pada gambar 1.



Gambar 1. skema sistem fuel cell individu

Pada fuel cell, gas hidrogen sebagai bahan bakar berinteraksi terus menerus dengan anoda sebagai elektroda negatif dan oksigen terkonsumsi pada katoda sebagai elektroda positif. Reaksi elektrokimia terjadi pada kedua elektroda menghasilkan arus listrik. Karakteristik dan komponen fuel cell sendiri mirip dengan baterai pada umumnya, hanya terdapat perbedaan pada beberapa bagian. Baterai merupakan divais penyimpan energi, jumlah energi maksimum yang terkandung dalam baterai tergantung pada seberapa besar baterai tersebut dapat menampung senyawa kimia sebagai reaktan, energi listrik akan dihasilkan ketika reaktan terkonsumsi (discharged). Beberapa jenis baterai, reaktan dapat diregenerasi dengan dengan pengisisan ulang (recharging) dengan menggunakan energi dari sumber lain. Di sisi lain, fuel cell merupakan divais pengkonversi energi, dimana energi listrik akan terus dihasilkan selama masih terdapat suplai bahan bakar pada elektroda (Jacoby, 2003).

Saat ini di negara-negara maju sudah dikembangkan kendaraan berbasis fuel cell, dimana kendaraan tersebut tidak mengimisikan CO2 dan gas-gas berbahaya lainnya tetapi hanya mengemisikan uap air yang sama sekali tidak berbahaya bagi lingkungan.

Dye Sensitizer Solar Cell (DSSC)

Konversi energi matahari menjadi energi listrik dilakukan dengan menerapkan sistem fotovoltaik. Dewasa ini, perkembangan solar cell dengan menggunakan divais semikonduktor sudah demikian pesat. Secara sederhana solar cell fotovoltaik terdiri dari persambungan bahan semikonduktor bertipe p dan n (p-n junction semiconductor) yang jika tertimpa sinar matahari akan menghasilkan aliran elektron atau yang disebut dengan aliran listrik.

Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) merupakan solar cell generasi ketiga setelah solar cell berbasis silikon dan solar cell berbasis semikonduktor polikristalin sebagai pendahulunya. Pada solar cell konvensional, foton atau sinar matahari berinteraksi dengan semikonduktor yang kemudian menghasilkan listrik. Sedangkan pada DSSC, dye (zat warna) yang ditempatkan pada permukaan semikonduktor yang berinteraksi dengan foton sebagai pemanen cahaya (Light harvesting). Secara teoritis efesiensi yang dihasilkan DSSC lebih baik karena zat warna bekerja pada daerah sinar tampak hingga infra merah, pada rentang panjang gelombang (energi) yang lebih lebar, sedangkan semikonduktor hanya dapat berinteraksi dengan sinar ultra violet (UV) yang faktanya sebagian besar sinar UV tidak sampai pada permukaan bumi karena terhalang oleh lapisan ozon (Gratzel, 2001).

Dibanding dengan dua generasi sebelumnya DSSC memiliki banyak keunggulan baik dari segi efesiensi maupun dari segi harga produksi. Dalam waktu penelitian selama sepuluh tahun efesiensi yang dicapai solar cell jenis ini telah menyamai efesiensi yang dicapai solar cell sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan selama dua puluh lima tahun. Dari segi harga produksi, DSSC lebih murah, dengan kemudahan dalam memperoleh bahan baku serta proses fabrikasi yang tidak sulit. Salah satu contoh senyawa kompleks rutenium disajikan pada gambar 2.



Gambar 2. Kompleks Rhutenium dye N3 (cis-RuL2(NCS)2 (Gratzel, 2003)

Selain dapat berfungsi sebagai solar cell itu sendiri yakni energi listrik yang dihasilkan langsung dimanfaatkan, DSSC dapat pula dimanfaatkan sebagai pemecah air dalam proses produksi hidrogen. Energi listrik yang dihasilkan solar cell tidak dapat disimpan langsung dalam bentuk listrik, tetapi dapat disimpan dalam bentuk lain salah satunya dalam bentuk energi kimia seperti hidrogen. Hidrogen merupakan salah satu unsur yang dapat dijadikan bahan bakar, karena memiliki kandungan energi per satuan berat tertinggi diantara berbagai jenis bahan bakar (Bard et al, 1995). Penggunaan hidrogen saat ini cukup pesat perkembangannya dari kendaraan, alat elektronik portabel, hingga alat-alat rumah tangga.

Secara sederhana solar cell terdiri dari persambungan bahan semikinduktor bertipe p dan n (p-n junction semiconductor) yang jika tertimpa sinar matahari maka akan terjadi aliran elektron, aliran elektron ini disebut dengan aliran listrik. Bagian utama perubah energi sinar matahari menjadi listrik adalah absorber (penyerap). Sinar matahari terdiri dari berbagai macam jenis gelombang elektromagnetik, absorber diharapkan dapat menyerap sebanyak mungkin radiasi sinar yang berasal dari cahaya matahari tersebut. Untuk mendapatkan efesiensi solar cell yang tinggi maka foton yang berasal dari sinar matahari harus dapat diserap sebanyak-banyaknya, refleksi dan rekombinasi sinar diperkecil serta memperbesar konduktivitas bahan.

Produksi Hidrogen dari Pemecahan Air

Hidrogen dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi sederhana dua sistem berbeda yakni sistem fotovoltaik yang menghasilkan listrik dan sistem elektrolisis air. Setiap solar cell yang dapat menghasilkan tegangan lebih besar dari 1,5 V dapat digunakan untuk elektorlisis air secara langsung menghasilkan hidrogen dan oksigen (Dimroth et al, 2006).



Gambar 3. Sistem tunggal fotovoltaik dan elektrolisis air

Elektrolisis air pada elektrolit secara teoritis dapat berlangsung pada tegangan 1,23 V, tetapi pada praktiknya reaksi baru dapat berlangsung pada tegangan diatas 1,48 V. Hal ini karena berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi sistem harus dilewati seperti potensial lebih dan hambatan. Secara termodinamika entalpi reaksi elektrolisis air sebesar 285,83 kJ/mol (25 ºC, 1 atm). Nilai tersebut termasuk energi bebas Gibbs sebesar ΔG = 237,1 kJ/mol dan energi panas TΔS = 48,7 kJ/mol yang memberikan kontribusi peningkatan entropi pada proses disosiasi yakni energi yang tidak digunakan untuk kerja (workless energy). Jika diasumsikan bahwa seluruh energi yang dibutuhkan untuk elektrolisis air berasal dari listrik, maka potensial termonetral sebesar 1,48 V (39kWh/kg) harus disuplai untuk setiap atom H. Ketika arus yang digunakan sangat kecil maka harus ada suplai enegi panas TΔS dari lingkungan (Dimroth et al, 2006).

Gabungan Sistem DSSC, Sistem Pemecah Air dan Fuel cell

Hidrogen yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan maupun alat-alat portabel yang menggunakan sistem fuel cell. Selama ini proses produksi hidrogen membutuhkan energi yang cukup besar serta dihasilkan pula limbah yang dapat mencemari lingkungan. Penggunaan tandem device (divais gabungan) yakni sistem solar cell dan sistem elektrolisis air dalam memproduksi hidrogen memberikan banyak keuntungan diantaranya adalah ramah lingkungan dan tidak memerlukan biaya besar selama produksinya (Dimroth et al, 2006). Secara sederhana tandem device dapat digambarkan pada gambar 4.



Gambar 4. Desain konseptual reaktor penghasil hidrogen dengan
menggunakan DSSC sebagai pembangkit listrik

Penggunaan DSSC sebagai pemanen sinar matahari telah memberikan efisiensi konversi lebih dari 10%. Sistem divais gabungan dapat menjadi suatu alternatif produksi hidrogen sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan, dengan memanfaatkan DSSC sebagai pembangkit listrik yang digunakan untuk elektrolisis air, menyebabkan ini menjadi solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan energi dengan tetap menjaga kualitas lingkungan, sehingga kehidupan di bumi menjadi lebih baik dan aman.

Hidrogen yang dihasilkan dari sistem ini dapat langsung diaplikasikan pada fuel cell sebagai sistem tandem. Kendaraan yang menggunakan sistem tandem solar cell dan fuel cell memberikan kemungkinan untuk lebih nyaman dan aman dalam penggunaan, dengan kata lain kendaraan sistem tandem fuel cell dan solar cell membuka peluang untuk menggunakan air sebagai bahan bakar. Hal ini tentunya dapat mengurangi biaya produksi bahan bakar hidrogen di kilang-kilang, karena hidrogen akan diproduksi langsung pada kendaraan dan seketika langsung digunakan sebagai sumber energi, sehingga kecelakaan akibat terbakarnya hidrogen dapat dihindari. Gambar 5 menyajikan skema sederhana sistem tandem fuel cell dan solar cell ini.



Gambar 5. Skema sederhana sistem tandem solar cell dan fuel cell

Sumber Pustaka

Bard et al, 1995, Artificial Photosintesys: Solar Splitting of Water to Hydrogen and Oxigen, Acc Chem Res 28, University of Texas at Austin, Texas

Booth, D., 1993, Understanding Fuel Cells, Alternative Energy Engeenering, 707-923-4336

Dimroth et al, 2006, Hydrogen Production in a PV Concentrator Using III-V Multi Junction solar Cells, 4th World Conference on Photovoltaic Energy Conversion, Hawaii

Gratzel, 2001, Photoelectrochemical cells, insight review articles, Swiss Federal Institute of Technology, Lausanne Switzerland

Gratzel, M., 2003, Dye-Sensitized Solar Cells, Journal of Photochemistry and Photobiology C: Photochemistry Reviews, 4 (2003) 145-153

Jacoby, M., 2003, Fuel Cells Move Closer To Market, Chemical and Engeneering, (2003) 32-36

Mengenal Self Assembly Monolayers (SAMs)

Pendekatan alternatif untuk membuat nanostruktur fungsional melibatkan self-assembly molekul-molekul. Pada pendekatan ini, segera setelah proses dimulai, struktur yang diinginkan dibentuk tanpa adanya intervensi dari luar. Molekul-molekul menata dirinya sendiri dengan memanfaatkan interaksi lemah seperti ikatan hidrogen dan van der Waals.

Monolayers merupakan lapisan tipis molekul tunggal yang disusun di atas permukaan substrat. Nama self-assembled monolayers (SAMs) menunjukkan bahwa pembentukan monolayer dilakukan secara otomatis tanpa memerlukan intervensi dari luar. SAMs ini banyak ditemukan di alam untuk menghasilkan arsitektur kompleks. Salah satu contohnya adalah pembentukan membran sel dari molekul lipid. SAMs adalah sistem ideal yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai sifat antarmuka seperti gesekan, adhesi dan pembasahan.

Dua pendekatan yang digunakan untuk membuat monolayer molekul pada permukaan logam adalah metode Langmuir-Blodgett dan metode self assembly. Pada metode Langmuir-Blodgett (ditunjukkan pada Gambar 1), molekul amphiphilic disebarkan pada permukaan cairan. Lapisan ini kemudian ditransfer ke substrat padat.


Gambar 1. Metode Langmuir-Blodgett. (a) Surfaktan di air. Titik hitam adalah kepala sedangkan garis adalah ekor surfaktan. Molekul surfaktan ini tidak beraturan. (b) Penekanan monolayer dengan mendorong barrier sepanjang permukaan. (c) Monolayer tertata dengan adanya tekanan. (d) Imersi substrat ke lapisan yang tertata. (e) Transfer monolayer ke substrat. (f) Monolayer tertata pada permukaan substrat.

Pada metode self assembly, logam (atau substrat lain) dicelupkan ke larutan yang mengandung surfaktan (gambar 2). Larutannya biasanya dibuat dalam heksana untuk surfaktan rantai-panjang dan dalam etanol untuk surfaktan rantai pendek.


Proses Pertumbuhan
Pertumbuhan monolayer dapat dijelaskan dengan hukum pertumbuhan Langmuir. Laju pertumbuhan proporsional dengan jumlah situs yang tersedia dan sesuai dengan persamaan dθ /dt = k(1 − θ ), dimana θ adalah fraksi situs yang terisi dan k adalah konstanta laju. Ada dua tahapan selama pertumbuhan monolayer. Langkah pertama adalah kemisorpsi gugus kepala pada permukaan logam dan ini terjadi sangat cepat. Kemudian rantai alkana mulai menata dengan konfigurasi semua trans, yang lebih lambat daripada proses pertama. Kinetika kedua tahap tergantung pada beberapa parameter seperti konsentrasi larutan, panjang rantai alkil, dll Sebelum digunakan, permukaan monolayer dicuci dan ditiup kering dengan nitrogen.


Stabilitas dan Dinamika Permukaan

Stabilitas termal dari SAMs tergantung pada kekuatan ikatan permukaan dan kekuatan interaksi lateral. Untuk alkanethiols pada emas, stabilitas termal meningkat dengan peningkatan panjang rantai. Untuk monolayer butanethiol, desorpsi dimulai pada temperature 75°C, sedangkan monolayer octadecane mengalami desorpsi pada temperatur 170–230°C.

Transisi fasa
Sebagai akibat dari interaksi van der Waaks, monolayer alkane thiol membentuk fasa kristalin pada permukaan logam. Namun pada peningkatan temperatur sistem, terjadi peningkatan ketidakteraturan orientasi. Ini memperlemah interaksi van der Waals yang akan menghasilkan fasa liquid-like.

Aplikasi SAMs
Pada dasarnya SAMs adalah metode rekayasa permukaan substrat sehingga dapat digunakan untuk mengontrol pembasahan dan adhesi, ketahanan terhadap bahan kimia, biokompatibilitas, dan sensitisitas suatu permukaan. Modifikasi permukaan elektroda dengan SAMs dapat mengontrol transfer elektron pada reaksi elektrokimia. SAMs juga digunakan sebagai model untuk mempelajari sifat-sifat membran sel dan organel dan pengikatan sel pada permukaan. SAMs dapat membuat permukaan menjadi lebih hidrofobik sehingga dapat melindungi komponen NEMS dan MEMS yang berada di lingkungan lembab. Dengan cara yang sama, SAM dapat mengubah sifat-sifat kaca. SAM membuat monolayer hidrofobik pada kaca depan mobil untuk menjaga kaca tetap jelas saat hujan.

SAMs berguna dalam biosensors dan perangkat untuk memisahkan satu jenis molekul dari lingkungannya. Salah satu contohnya adalah penggunaan nanopartikel magnetik untuk menghilangkan jamur dari aliran darah. Nanopartikel ini dilapisi dengan SAMs yang mengikat jamur. Saat darah yang terkontaminasi disaring melalui perangkat MEMS, nanopartikel magnetik dimasukkan ke dalam darah sehingga dapat mengikat jamur dan kemudian nanopartikel ini dihilangkan dari darah.

Karakterisasi Padatan Berpori Menggunakan Persamaan Adsorpsi Isoterm Gas

Material berpori didefinisikan sebagai padatan yang mempunyai pori sehingga mempunyai luas permukaan besar. Suatu padatan dapat disebut sebagai material berpori apabila mempunyai porositas 0,2-0,95. Porositas merupakan fraksi volume pori terhadap volume total padatan. Material berpori telah digunakan secara luas sebagai katalis dan pengemban katalis pada berbagai industri kimia, adsorben pada penjernihan dan detoksifikasi air, elektroda pada sel elektrokimia, sensor, bahan isolator, dan sebagainya.

Menurut IUPAC, material berpori dapat diklasifikasikan menurut ukuran porinya, yaitu material mikropori (diameter pori kurang dari 2 nm), mesopori (diameter pori 2-50 nm), dan makropori (diameter pori lebih dari 50 nm). Pori pada material berpori dapat berbentuk silindris terbuka (open-ended cylindris), celah antara dua bidang paralel (slit-shape), dan botol tinta (ink-bottle). Penentuan model atau bentuk pori merupakan salah satu langkah penting pada penentuan distribusi pori. Biasanya penentuan ini berdasarkan atas pertimbangan struktur geometri material. Misalkan model pori silindris untuk zeolit dan model pori slit shape untuk lempung dan karbon aktif.

Pengukuran adsorpsi isoterm gas pada temperatur mendekati titik kondensasi gas adsorbat merupakan teknik konvensional dan sederhana dalam karakterisasi padatan berpori. Teknik ini dilakukan dengan mengukur jumlah gas yang diadsorpsi (adsorbat) oleh suatu padatan pada variasi tekanan gas dalam keadaan isotermal. Penentuan jumlah adsorbat dilakukan dengan mengukur pengurangan tekanan atau volume gas setelah kondisi keseimbangan adsorpsi-desorpsi tercapai. Gas yang digunakan adalah gas yang sifatnya inert seperti nitrogen dan argon.

Berbagai metode, teori dan persamaan telah dikembangkan diantaranya adalah metode Langmuir dan metode Brunauer-Emmett-Teller (BET). Keduanya digunakan untuk menentukan luas permukaan spesifik suatu padatan dari data adsorpsi isoterm gas. Luas permukaan merupakan salah satu parameter penting yang menentukan kualitas padatan berpori. Luas permukaan spesifik merupakan parameter yang menggambarkan kapasitas adsorpsi suatu adsorben. Pada bidang katalisis, luas permukaan spesifik merupakan gambaran banyaknya situs aktif yang ada pada permukaan katalis yang menentukan sifat katalitiknya. Pada elektroda sel elektrokimia, luas permukaan spesifik berhubungan dengan banyaknya transfer elektron yang terjadi pada daerah antar muka.

Pada awal perkembangan metode dan teori adsorpsi isoterm, data mengenai luas permukaan sudah cukup sebagai ukuran kualitas dari padatan berpori. Namun selanjutnya, data tentang luas permukaan tidak cukup rinci untuk menerangkan sifat adsorpsi padatan. Ukuran pori dan distribusi pori sekarang menjadi target utama sintesis material berpori.

Telah dikenal metode baru untuk pengolahan data adsorpsi isoterm yang dapat digunakan tidak hanya terbatas pada penentuan luas permukaan padatan, akan tetapi juga mampu menghitung volume dan luas permukaan pori, luas permukaan eksternal, dan distribusi pori. Metode perbandingan (t-plot dan αs-plot) berhasil mendapatkan luas permukaan pori, luas permukaan ekternal, diameter dan volume pori pada material mikropori dan mesopori.Metode MP sebagai perluasan t-plot merupakan metode untuk menentukan distribusi mikropori. Penentuan distribusi mesopori biasa digunakan metode Barrett-Joyner-Halenda (BJH) yang disusun berdasarkan atas konsep kondensasi kapiler menggunakan persamaan Kelvin dan faktor koreksi dari ketebalan statistik multilayer.

Mekanisme Reaksi Esterifikasi dengan Katalis Asam


-->
Reaksi keseluruhan:


-->
Mekanisme reaksi:








-->
Keterangan:
A. Protonasi, aktivasi gugus karbonil
B. Adisi EtOH pada gugus aktif karbonil
C. Deprotonasi oxonium ion
D. Protonasi pada gugus hidroksi sehingga menghasilkan gugus pergi yang baik (air)
E. Eliminasi air dengan bantuan lone pair elektron dari oksigen
F. Deprotonasi, sebagai tahap terakhir.
Pada sesi selanjutnya akan dibahas bagaimana mekanisme reaksi esterifikasi dengan katalis basa, serta mekanisme reaksi yang lainnya.