Mengenal Mikroskop Gaya Atom (Atomic Force microscope)

Apakah anda pernah menggunakan aplikasi google map untuk melihat peta suatu daerah? Apabila kita menggunakan mode terrain pada google map, kita dapat melihat bentuk muka bumi secara tiga dimensi. Artinya kita bisa membedakan mana dataran tinggi dan mana dataran rendah. Contoh mode terrain pada google map ditunjukkan pada Gambar 1. 

Gambar 1. Bentuk permukaan bumi daerah Wonosobo (Jawa Tengah) dan sekitarnya.

Pada Gambar 1 kita bisa mengetahui bahwa daerah Wonosobo dan Banjarnegara lebih tinggi daripada daerah Pekalongan dan Semarang. Hal ini ditunjukkan dengan warna hijau yang lebih gelap. 

Untuk melihat bentuk permukaan bumi tersebut, manusia menggunakan satelit yang mengorbit di atas permukaan bumi. Namun bagaimana caranya melihat bentuk permukaan suatu material yang sangat kecil? Misalnya melihat carbon nanotubes, gold nanoparticle, ataupun nanomaterial lainnya? Salah satunya adalah dengan menggunakan alat yang bernama Atomic Force Microscope.

Atomic force microscope (AFM) atau dikenal sebagai scanning force microscope merupakan suatu jenis mikroskop yang mampu memberikan informasi topografi tiga dimensi suatu permukaan pada skala hingga nanometer. Resolusi lateralnya mencapai 1,5 nm sedangkan resolusi vertikalnya mencapai 0,05 nm. Artinya ketelitian AFM dalam mengukur ketinggian suatu pemukaan lebih besar daripada ketelitiannya dalam mengukur panjang atau lebar. 

AFM merupakan pengembangan dari scanning tunneling microscope (STM) yang ditemukan sebelumnya. Berbeda dengan STM yang hanya bisa digunakan untuk sampel yang bersifat konduktor, AFM dapat digunakan untuk sampel yang bersifat konduktor maupun isolator seperti klaster atom dan molekul, makromolekul, dan spesies biologi seperti sel, DNA, dan protein. Namun dibandingkan dengan STM, resolusi AFM lebih rendah. 

Gambar 2. Nanowire MoO3 yang diamati dengan AFM (diambil dari www2.potsdam.edu)

Di Indonesia mungkin belum banyak yang mengenal AFM karena jenis mikroskop ini kalah populer dengan SEM dan TEM. Berbeda dengan SEM dan TEM yang menggunakan berkas elektron, AFM menggunakan jarum (tip) berukuran sangat kecil sebagi alat deteksinya. Panjang tip AFM kurang dari 5 mikrometer dan diameter ujung tip biasanya kurang dari 10 nm. Tip ini diletakkan di ujung cantilever yang panjangnya sekitar 100-500 mikrometer. 

Dalam penggunaannya, AFM tidak membutuhkan kondisi hampa udara (vakum). Karena itu AFM sangat baik digunakan untuk deteksi sel dan sampel biologi lainnya tanpa membuat sel biologi tersebut menjadi kering. Kelebihan AFM lainnya adalah mampu menampilkan gambaran permukaan sampel secara tiga dimensi sehingga kita bisa mengetahui ukuran nanopartikel secara lebih mendetail. Sedangkan SEM hanya mampu menampilkan gambaran permukaan secara dua dimensi.

AFM ditemukan pada tahun 1986 oleh Binnig, Quante dan Gerber. Walaupun pengembangan AFM sudah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 1986 inilah implementasi eksperimental AFM dilakukan pertama kalinya. Tiga tahun kemudian, AFM komersil untuk pertama kalinya dibuat.

Komponen utama pada AFM ada tiga, yaitu cantilever, scanner dan feedback control. Cantilever merupakan bagian AFM yang berinteraksi langsung dengan permukaan sampel. Seperti dijelaskan sebelumnya, pada ujung cantilevel terdapat tip yang sangat kecil menyerupai jarum berukuran nanometer. Tip ini yang akan melakukan scanning sepanjang permukaan sampel. 

Komponen yang kedua adalah scanner. Scanner ini berfungsi untuk mengontrol pergerakan tip atau sampel pada arah x, y dan z. Pada scanner terdapat piezo-electric material yang mampu memberikan pergerakan dalam skala nanometer. 

Komponen ketiga adalah feedback control. Komponen ini berfungsi untuk menterjemahkan signal yang diberikan oleh tip pada photodiode detector. Signal yang diterima akan diterjemahkan untuk menggerakkan piezo-electric material.

Secara umum cara kerja AFM seperti tangan kita. Bayangkan kondisi dimana kita berada di sebuah kamar yang sangat gelap sehingga mustahil bagi kita untuk melihat. Kemudian kita diberikan sebuah benda. Untuk mengetahui benda itu tentunya kita akan meraba dan merasakan halus kasarnya permukaannya dengan tangan kita. Sebagai pengganti tangan, ujung jarum (tip) digunakan sebagai alat peraba pada AFM. Karena ukuran jarum yang sangat kecil, maka permukaan benda yang dapat diraba juga sangat kecil. 

Secara teknis prinsip kerja AFM ditunjukkan pada Gambar 3. Pada posisi normal, sinar laser diarahkan pada ujung cantilever. Oleh cantilever, laser ini dipantulkan menuju bagian tengah detektor photodiode. Ketika tip mendekati permukaan sampel, terjadi gaya tarik atau gaya tolak antara tip dan permukaan sampel. Gaya ini akan menyebabkan cantilever bengkok. Bengkoknya cantilever ini akan terdeteksi dengan adanya pergeseran posisi laser yang ditangkap oleh photodioda. Semakin besar gaya tarik/tolak antara tip dan permukaan sampel, pergeseran laser akan semakin besar. Karena besarnya gaya tarik/tolak tergantung pada jarak antara tip dan permukaan sampel, maka topografi permukaan sampel dapat diketahui dengan melakukan scanning tip sepanjang permukaan sampel. 


Gambar 3. Prinsip kerja AFM (gambar diambil dari wikipedia.org)

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat video berikut:




Ada tiga mode dalam pengoperasikan AFM, yaitu mode sentuh (contact mode), mode tapping, dan mode tak sentuh (noncontact mode). 

Pada mode sentuh, tip cantilever berada sangat dekat dengan permukaan sampel sehingga terjadi gaya tolakan. Gaya tolakan ini menyebabkan cantilever menekuk. Konstanta pegas dari cantilever ini lebih kecil daripada konstanta pegas antar atom sehingga saat terjadi gaya tolak, cantilever inilah yang akan menekuk tanpa menyebabkan kerusakan pada sampel. Saat tip menelusuri permukaan sampel, perbedaan tinggi rendahnya sampel menyebabkan perbedaan gaya tolakan. Agar gaya tolakan selalu konstan, feedback control mengirim signal ke piezo-electric material untuk bergerak ke atas atau ke bawah. Pergerakan ini direkam dan diterjemahkan sebagai topografi 3D permukaan sampel. Jenis tip yang digunakan pada AFM mode sentuh biasanya terbuat dari silikon nitrida karena mempunyai fleksibilitas yang baik. Biasanya pihak perusahan menjual tip dengan berbagai ukuran dan tipe coatingnya sehingga pengguna dapat menyesuaikannya dengan sampel yang akan dianalisa.

Pada mode tak sentuh, jarak antara tip dengan sampel lebih besar sehingga gaya yang dirasakan adalah gaya tarikan. Mode ini relatif sulit dilakukan pada kondisi ambien karena adanya lapisan air yang teradsorpsi pada permukaan tip ataupun permukaan sampel. Saat tip mendekati permukaan sampel, lapisan air menyebabkan gaya kapiler terjadi secara tiba-tiba sehingga tip langsung kontak dengan permukaan sampel.

Pada mode tapping, cantilever digetarkan pada frekuensi resonansinya. Saat scanning dilakukan, perbedaan topografi sampel menyebabkan pergeseran frekuensi resonansinya. Pergeseran frekuensi ini yang kemudian diterjemahkan menjadi topografi permukaan melalui serangkaian proses yang dilakukan oleh feedback control. Sama seperti mode sentuh, mode tapping berada pada daerah gaya tolakan antara sampel dan tip. Jenis tip yang digunakan biasanya terbuat dari kristal silikon. Jenis tip ini dapat bergetar pada frekuensi tinggi namun lebih rapuh daripada tip dari silikon nitrida.

Pilihan mode yang mana yang digunakan tergantung pada karakteristik permukaan sampel dan juga kekerasan sample. Mode sentuh baik digunakan untuk sampel yang permukaannya keras. Kelemahan dari metode sentuh adanya mudah terjadi kontaminasi pada tip akibat kontak dengan material yang mudah lepas di permukaan sampel. Selain itu gaya yang berlebihan pada mode sentuh dapat menggores sampel dan merusak tip. Mode tapping sangat baik untuk sampel yang lunak seperti spesimen biologi, dan juga untuk sampel yang mempunyai adhesi permukaan rendah seperti DNA dan karbon nanotubes. Mode tak sentuh juga baik untuk sampel lunak namun mode ini sangat sensitif terhadap vibrasi eksternal.

2 komentar: