Proses Pemindai pada STM

STM merupakan mikroskop yang mampu menghasilkan gambar dalam skala atomik sehingga mampu melihat atom dan molekul.

Mekanisme Pembakaran

Pada artikel ini dibahas secara singkat bagaimana pembakaran terjadi pada senyawa organik terutama polimer

Korosi Celah

Korosi celah disebabkan oleh adanya air yang terjebak pada celah sempit antar sambungan atau retakan.

Material karbon

Saat ini nanomaterial karbon seperti CNT dan grafen banyak menarik perhatian karena sifatnya yang unik.

Zeolit

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Asas Franck-Condon Pada Spektroskopi Absorpsi dan Flouresensi

Taukah anda apa yang terjadi apabila suatu atom atau molekul menyerap (absorpsi) foton?  

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita harus mengingat terlebih dahulu tentang teori Niel Bohr. Menurut Bohr, tingkat energi elektronik pada atom dan molekul bersifat diskrit, artinya tidak semua tingkat energi ada, namun hanya tingkat-tingkat energi tertentu yang dimiliki oleh atom dan molekul. Misalnya pada atom hidrogen, tingkat energi utamanya yang mungkin adalah -13,6 eV/n2 dengan n adalah bilangan bulat (1, 2, 3, 4, dst). Atom hidrogen tidak mempunya energi utama dengan n=1/2 , 3/2 atau bilangan tidak bulat lainnya.

Fenomena absorpsi cahaya (foton) berkaitan dengan perpindahan elektron di antara tingkat-tingkat energi tersebut. Pada keadaan dasar, elektron akan menempati tingkat energi terendah yang disebut tingkat energi dasar (E0). Absorpsi foton akan menyebabkan atom atau molekul tereksitasi, dengan kata lain elektron pada atom atau molekul itu akan berpindah ke tingkat energi yang lebih tinggi (E1 atau E2).

Gambar 1. Tingkat energi dasar dan dua tingkat energi tereksitasi 
(diambil dari http://www.life.illinois.edu/govindjee/biochem494/Abs.html)


Segera setelah elektron mengalami eksitasi, elektron tersebut akan kembali ke keadaan dasar dengan melepaskan radiasi dalam bentuk foton. Gejala ini disebut emisi. Apabila peristiwa emisi tidak disertai oleh perubahan spin elektron maka dinamakan flouresensi.

Gejala absorpsi dan flouresensi banyak digunakan dalam spektroskopi untuk identifikasi dan uji kuantitatif atom. Misalnya pada spektroskopi serapan atom (SSA) untuk uji kuantitatif logam di dalam sampel.

Pada molekul diatomik dan poliatomik, selain tingkat energi utama, juga terdapat tingkat energi vibrasional dan rotasional yang berkaitan dengan kemampuan molekul untuk bervibrasi dan berortasi. Perbedaan antar energi vibrasi dan rotasi ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan perbedaan antar tingkat energi utama. 

Gambar 2. Diagram yang menunjukkan dua tingkat energi elektronik utama (E0 dan E1) dengan masing-masing tingkat energi vibrasinya. 
(diambil dari http://chemwiki.ucdavis.edu/@api/deki/files/12508/Figure10.15.jpg)

Pada gambar di atas terlihat pada eksitasi elektronik dari E0 dan E1 pada molekul lebih komplek daripada pada atom karena adanya banyak tingkat energi vibrasi dan rotasi pada kedua tingkat energi utama itu. Tingkat-tingkat energi rotasi dan vibrasi sangat berdekatan dan seolah menciptakan spektra yang bersifat kontinyu seperti pada gambar di bawah.

Gambar 3. Spektra absorpsi/emisi pada atom (a) dan molekul (b) 
(diambil dari http://www.monzir-pal.net/Instrumental%20Analysis/Contents/Properties_of_electromag_rad.htm)

Gambar 2 merupakan ilustrasi sederhana tingkat-tingkat energi vibrasi dan rotasi pada molekul. Penggambaran yang lebih lengkap adalah Gambar 4 dan Gambar 5.

Gambar 4. Kurva energi potensial untuk keadaan dasar dan keadaan tereksitasi pada molekul





Bersambung............

Arus listrik terbatas muatan ruang

Muatan ruang (space charge) adalah suatu konsep dimana muatan elektrik dianggap sebagai muatan kontinyu yang terdistribusi di dalam ruang tertentu. Dengan kata lain muatan tidak dianggap lagi sebagai muatan titik.

Muatan ruang terjadi saat medan elektrik tinggi dikenakan pada elekroda (sekitar 10000 V/cm) sehingga muatan diinjeksikan dari elektoda dan muatan ruang terbentuk pada insulator atau semikonduktor yang mempunyai konsentrasi pembawa muatan termal rendah. Konsentrasi awan muatan ruang secara cepat menurun dengan meningkatnya jarak terhadap elektroda.

Pada potensial rendah, densitas arus yang mengalir memenuhi hukum Ohm:


Ketika potensial ditingkatkan, muatan cenderung terakumulasi pada daerah di antara elektroda dan medan listrik yang diakibatkan oleh akumulasi muatan ini selanjutnya akan mempengaruhi arus listrik yang mengalir. 

Mekanisme ini dinamakan Space Charge Limited Current (SCLC):


Pada SCLC ini hubungan arus dan potensial menjadi kuadratik. Arus hanya tergantung pada mobilitas pembawa muatan dan tidak tergantung pada densitas pembawa muatannya. Hal ini berbeda dengan hantaran ohmik dimana arus tergantung pada densitas dan mobilitas pembawa muatan.




Bagaimana cahaya berinteraksi dengan materi?

Pernahkah kita memikirkan mengapa logam berkilau, mengapa gelas transparan, dan mengapa batu permata mempunyai variasi warna yang cantik? Mengapa benda-benda bisa mempunyai warna yang berbeda? Untuk dapat menjawab semua itu kita harus mengetahui interaksi yang terjadi saat cahaya mengenai materi. 

Sebelum membahas tentang interaksi antara cahaya dengan materi, marilah kita mengenal cahaya terlebih dahulu. Pertama kita harus mengetahui bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Ini berarti selain mempunyai medan listrik, cahaya juga mempunyai medan magnet dimana arah vektor kedua medan tersebut saling tegak lurus (Gambar 1). Medan listrik pada arah vertikal sedangkan medan magnet pada arah horisontal atau sebaliknya. Medan-medan ini yang akan mempengaruhi materi, misalkan medan listrik yang menyebabkan timbulnya resonansi plasmon permukaan yang telah dibahas di sini

Gambar 1. Gelombang elektromagnetik pada cahaya. Arah medan magnet tegak lurus dengan arah medan listrik. 

Cahaya juga mempunyai paket-paket energi yang besarnya tergantung pada panjang gelombang (wavelength) cahaya tersebut. Pada spektrum cahaya tampak, gelombang cahaya menentukan warna. Misalnya warna merah mempunyai panjang gelombang sekitar 650 nm, warna kuning sekitar 570 nm dan warna biru sekitar 475 nm (Gambar 2). Sedangkan cahaya putih mengandung semua warna. Energi cahaya meningkat dari warna merah ke biru. Ketika cahaya tampak mengenai suatu benda, beberapa spektrum warna diserap dan yang lain diteruskan dan dipantulkan. Perbedaan dalam hal spektrum warna apa yang diserap dan spektrum mana yang diteruskan menghasilkan warna suatu benda.

Gambar 2. Spektrum cahaya tampak

Bagaimana cahaya berinteraksi dengan materi/benda menentukan sifat optik dari benda itu. Secara garis besar sifat optik yang dapat termati pada suatu materi padat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pencerminan (reflection), perambatan (propagation), dan transmisi (transmission). Ketiga fenomana itu diilistrasikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Pantulan, propagasi dan transmisi cahaya pada medium optik

Gambar 3 menunjukkan berkas cahaya yang mengenai suatu medium optik. Sebagian cahaya dipantulkan kembali dari permukaan depan, sementara sebagian yang lain masuk dan merambat ke dalam medium. Jika cahaya ini mencapai permukaan belakang, cahaya akan dipantulkan kembali atau diteruskan hingga keluar dari medium.

Saat cahaya merambat di dalam medium optik, terdapat beberapa peristiwa yang mungkin terjadi yakni pembiasan (reflaction), absorpsi dan luminesensi (absorption and luminescence), serta penghamburan (scattering). 

Pembiasan menyebabkan kecepatan perambatan gelombang cahaya berkurang dibandingkan kecepatannya di dalam ruang hampa. Penurunan kecepatan ini menyebabkan cahaya membengkok pada bidang antar muka seperti yang dijelaskan oleh hukum Snell. Walaupun kecepatannya berkurang, pembiasan itu sendiri tidak merubah intensitas cahaya. 

Absorpsi terjadi selama perambatan cahaya di dalam medium apabila frekuensi cahaya sama (resonansi) dengan frekuensi transisi atom-atom di dalam medium. Pada peristiwa ini, intensitas cahaya berkurang. Absorpsi sangat berkaitan dengan transmisi karena hanya cahaya yang tidak terabsorpsi yang akan ditransmisikan melalui medium. Absorpsi selektif pada panjang gelombang tertentu yang menyebabkan material menjadi terlihat berwarna. Misalnya rubi yang berwarna merah karena dia menyerap cahaya biru dan hijau namun tidak menyerap merah.

Luminesensi merupakan nama yang diberikan untuk peristiwa emisi spontan cahaya oleh atom yang tereksitasi di dalam medium optik. Salah satu cara agar atom mengalami eksitasi adalah dengan absorpsi cahaya. Jadi luminesensi terjadi setelah atom mengalami absorpsi walaupun tidak semua absorpsi diikuti oleh luminesensi. Karena kadang kala setelah absorpsi, atom yang tereksitasi kehilangan energi dalam bentuk panas sebelum sempat mengemisikan cahaya. Pada peristiwa luminesensi, cahaya diemisikan ke segala arah dan mempunya frekuensi yang berbeda dengan frekuensi cahaya datang. 

Penghamburan merupakan peristiwa dimana arah cahaya berubah dan kadangkala disertai perubahan frekuensinya setelah cahaya berinteraksi denga medium. Jumlah total foton tidak berubah, namun jumlah foton yang ditransmisikan akan berkurang karena foton cahaya diarahkan kembali ke segala arah. Penghamburan disebut elastik apabila frekuensinya tidak berubah, dan disebut tak elastik apabila frekuensinya mengalami perubahansetelah peristiwa scattering. Perubahan berarti foton mempunyai frekuensi yang lebih kecil/besar daripada sebelum penghamburan. Hamburan ini dikenal dengan hamburan stokes dan antistokes yang telah dibahas di sini

Gambar 4. Pembiasan, absorpsi dan penghamburan yang terjadi saat cahaya masuk ke dalam medium. Pembiasan tidak menyebabkan perubahan intensitas cahaya sedangkan absorpsi dan penghamburan menyebabkan cahaya yang diteruskan mempunyai internsitas yang lebih rendah daripada cahaya datang.

Selain itu, peristiwa lain dapat terjadi apabila cahaya yang merambat melalui medium mempunyai intensitas yang sangat tinggi seperti pada laser. Peristiwa ini dikenal sebagai optik tak linear. Contohnya adalah penggandaan frekuensi dimana frekuensi cahaya menjadi dua kali lipat setelah berinteraksi dengan medium optik. 

Pustaka:
https://www.nde-ed.org/EducationResources/CommunityCollege/RadiationSafety/theory/nature.htm
https://en.wikipedia.org/wiki/Visible_spectrum
http://www.artinaid.com/2013/04/what-is-light-or-electromagnetism/

Apa itu Plasmon?

Minggu lalu saya diberi tugas untuk mempresentasikan sebuah jurnal yang menurut saya sangat sulit. Sulit karena terdapat banyak istilah terkait fisika sedangkan fisika bukanlah bidang saya. Salah satu istilah yang mengusik saya adalah "plasmon". Setelah bulan lalu sempat belajar tentang eksiton dan telah dibahas sedikit di sini, sekarang saya dihadapkan dengan plasmon. Akhirnya dengan waktu tinggal beberapa hari saya mencari informasi mengenai plasmon. Ternyata cukup sulit bagi saya untuk memahaminya. Mungkin karena ilmu fisika saya yang payah, atau mungkin juga karena pengaruh usia yang sudah uzur yang menjadikan saya sulit memahami hal-hak yang bersifat baru. 

Pengertian plasmon yang pertama kali saya dapat di internet: "plasmon adalah kuantum dari osilasi plasma". Respon saya saat membaca itu adalah "wow begitu dahsyat pengertiannya" hingga membuat saya pusing dan mau muntah (lebay mode on). Untuk istilah kuantum okelah saya sedikit mengerti tentang itu, namun istilah plasma dan osilasi itu yang kurang enak didengar di telinga saya. Setelah browsing sana sini ternyata osilasi itu sama dengan vibrasi atau getaran, walaupun sebenarnya "getaran" merupakan salah satu bentuk dari osilasi. Namun istilah "getaran" terasa lebih pas di hati. Mungkin karena buku-buku SD hingga SMA saya dulu semua memakai istilah getaran. Maka petualangan pencarian pemahaman dimulai dari istilah "plasma". Oke saya langsung saja saya tuliskan kembali beberapa pemahaman baru saya tentang plasmon yang saya dapatkan dari internet. 

Plasma merupakan bentuk keempat dari materi. Kita mungkin telah mengenal dengan baik ketiga bentuk materi yang lain, yaitu padat, cair dan gas. Secara sederhana kita dapat mengartikan plasma sebagai gas yang terionisasi. Karena terionisasi inilah plasma mempunyai sifat yang berbeda dengan gas netral. Walaupun bermuatan, namun secara keseluruhan plasma bersifat netral karena tersusun atas ion positif dan elektron yang bermuatan negatif dengan jumlah yang sama. 

Ternyata sifat plasma terdapat pada logam dan semikonduktor terdoping walaupun bentuk keduanya adalah padatan. Hal ini karena mereka mengandung ion-ion positif dengan posisi tetap pada kisi kristal dan elektron-elektron bebas yang dapat bergerak sepanjang kisi kristal (ingat model Drude?).

Proses terbentuknya plasma pada logam dapat diilustrasikan dengan gambar berikut:

Gambar 1. Terjadinya plasmon pada logam

Pada kondisi keseimbangan, elektron bebas tersebar membentuk awan elektron yang menyelubungi muatan positif dari inti atom. Jumlah muatan negatif sama dengan jumlah muatan positif sehingga secara keseluruhan logam bersifat netral (Gambar 1a). Misalkan kita mengganggu kondisi keseimbangan dengan menempatkan potongan logam itu di dalam medan listrik yang mengarah ke kiri. Maka elektron bebas akan bergerak ke kanan (Gambar 1b). Apabila medan listrik dihilangkan, maka elektron bebas akan bergerak ke kiri karena adanya gaya pemulih (muatan positif netto pada bagian kiri). Namun pergerakan elektron bebas akan melampaui kondisi keseimbangan sehingga elektron bebas akan terakumulasi di bagian kiri (Gambar 1c). Sekali lagi elektron bebas akan kembali bergerak ke kanan karena adanya gaya pemulih (muatan positif netto pada bagian kanan). Akibatnya elektron bebas akan bergerak bolak-balik melalui titik keseimbangan. Dengan kata lain, elektron mengalami osilasi ke kiri dan ke kanan relatif terhadap muatan positif inti atom yang tetap. Osilasi ini yang disebut dengan osilasi plasma.

Jadi secara singkat plasmon dapat didefiniskan sebagai osilasi kolektif dari elektron valensi logam. Disebut kolektif karena ini merupakan pergerakan gabungan elektron-elektron, bukan hanya disebabkan oleh pergerakan elektron tunggal. Karena berosilasi, tentunya plasmon mempunyai frekuensi yang besarnya tergantung pada densitas elektron bebas yang dipunyai oleh logam itu.

dimana ωp = frekuensi plasmon, ne = densitas elektron, e = muatan elektron, m* = massa efektif elektron dan ε0 = permitivitas ruang bebas.

Plasmon menentukan sifat optik dari logam. Cahaya yang mempunyai frekuensi lebih rendah daripada frekuensi plasmon akan dipantulkan karena elektron pada logam akan menahan (screen) medan listrik dari cahaya. Sebaliknya cahaya yang mempunyai frekuensi di atas frekuensi plasma akan diteruskan karena elektron tidak cukup cepat untuk merespon medan listrik dari cahaya. Pada kebanyakan logam, frekuensi plasma berada pada daerah ultraviolet sehingga membuat logam berkilau (reflektif) terhadap sinar tampak. Pada Gambar 2 terlihat bahwa reflektifitas berkurang drastis saat energi foton melewati energi plasmon.

Gambar 2. Reflektivitas aluminum sebagai fungsi dari energi foton.

Pada beberapa logam seperti tembaga, perak dan emas, terdapat transisi antar pita d ke s yang bercampur dengan resonansi plasmon dengan cara tertentu sehingga menggeser resonansi plasmon ke energi lebih rendah hingga pada spektrum cahaya tampak.

Resonansi Plasmon Permukaan (Surface Plasmon Resonance = SPR)
Ketika nanopartikel emas (AuNPs) menyerap cahaya, medan elektromagnetik dari cahaya menyebabkan polarisasi elektron pita konduksi (elektron bebas) pada permukaan nanopartikel. Karena medan elektromagnetik cahaya berosilasi maka polarisasi elektron juga mengalami osilasi. Osilasi ini dinamakan plasmon permukaan (surface plasmon). Karena plasmon permukaan mempunyai frekuensi yang sama dengan frekuensi cahaya maka disebut resonansi plasmon permukaan (SPR).

Gambar 3. Osilasi plasmon permukaan pada nanopartikel emas

Frekuensi SPR sangat tergantung ada ukuran dan bentuk nanopartikel. Pada nanopartikel emas yang berbentuk bola hanya ada satu frekuensi SPR sekitar 520 nm. Pada emas nanorod terdapat dua frekuensi SPR yang berhubungan dengan pita transversal dan longitudinal.

Gambar 4. Osilasi elektron pada nanorod

Frekuensi plasmonik pada nanopartikel sangat sensitif terhadap perubahan lingkungannya sehingga dapat digunakan sebagai sensor.

Gambar 5. Ilustrasi konsep dasar yang melandasi sensor analit dengan material nanoplasmonik. Pergeseran posisi puncak plasmon pada spektra ekstinsi terjadi setelah analit berinteraksi dengan ligan yang berada pada permukaan nanopartikel.



http://www.stratech.co.uk/cytodiagnostics-inc/gold-nanoparticle-properties
http://rsfs.royalsocietypublishing.org/content/3/3/20130006
https://www.ifm.liu.se/applphys/molphys/research/biosensing_using_nanopart/index.xml
Fox, Mark. Optical Properties of Solids. Oxford University Press.

Upconversion dan Aplikasinya

Ketika suatu benda dikenai cahaya dengan energi tertentu maka akan terjadi eksitasi elektronik. Keadaan tereksitasi ini merupakan keadaan yang tidak stabil dan akan kembali ke keadaan dasarnya dengan mengemisikan kembali cahaya dengan energi yang lebih rendah. Energi cahaya emisi lebih rendah daripada energi cahaya eksitasi karena adanya proses nonradiatif. Perhatikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Jablonski. Setelah absorpsi foton, maka elektron akan mengalami eksitasi elektronik dan vibrasional. Kemudian elektron akan mengalami relaksasi vibrasional dan mengemisikan foton dengan panjang gelombang lebih besar.

Saat foton yang diemisikan mempunyai energi yang lebih rendah daripada foton yang diabsorpsi, maka proses ini dikenal sebagai proses downconversion. Pada kondisi tertentu energi foton yang diemisikan dapat lebih tinggi daripada foton yang diabsorpsi. Proses ini dikenal dengan sebutan proses upconversion. Proses upconversion ini terjadi melalui mekanisme eksitasi yang melibatkan absorpsi lebih dari satu foton seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Perbedaan antara downconversion (A) dan upconversion (B)

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa upconversion terjadi karena adanya absorpsi dua atau lebih foton secara berturutan. Proses absorpsi foton pertama menghasilkan keadaan tereksitasi metastabil yang kemudian akan mengabsorpsi foton kedua untuk mencapai tingkat energi yang lebih tinggi. 

Mekanisme yang lain melibatkan proses transfer energi antara dua keadaan metastabil. Saat dua keadaan metastabil berinteraksi misal dengan bertumbukan, maka energi salah satu metastabil akan ditransfer ke metastabil yang lain. Sehingga terbentuk satu keadaan tereksitasi lebih tinggi dan satu keadaan terdeeksitasi.

Gambar 3. Tingkat energi ion thulium (Tm3+) pada ZBLAN fiber menunjukkan bagaimana eksitasi dengan laser 1140 nm dapat menghasilkan emisi laser biru 480 nm.

Salah satu aplikasi dari upconversi adalah untuk membunuh sel kanker dalam. Pada terapi fotodinamik, pasien diberikan obat yang sensitif terhadap cahaya yang akan teradsorpsi pada sel tubuh terutama sel kanker. Kemudian laser merah diberikan pada daerah kanker. Sinar laser merah itu akan mengaktivasi obat yang kemudian menghasilkan bentuk reaktif dari oksigen (oksigen singlet) yang akan membunuh sel kanker. Namun sayangnya daya tembus sinar laser merah tidaklah jauh. Sehingga terapi ini tidak dapat diberikan apabila sel kanker berada pada lapisan dalam. Namun dengan penambahan material upconversion, sel kanker dalam dapat juga diobati. Caranya adalah dengan menggunakan radiasi laser inframerah dekat. Laser inframerah dekat mempunyai daya tembus yang lebih baik daripada laser merah sehingga dapat mencapai lapisan sel yang lebih dalam. Kemudian material upconversion akan mengubah laser inframerah dekat ini menjadi laser merah yang dapat mengaktivasi obat.

Gambar 4. Nanopartikel upconversion dapat mengubah laser inframerah dekat menjadi laser merah sehingga jangkauan terapi fotodinamik menjadi bertambah dan dapat mengobati sel kanker pada jaringan dalam.

Aplikasi lain dari material upconversion adalah untuk meningkatkan efisiensi sel surya. Sel surya bekerja mengubah cahaya menjadi listrik. Cahaya yang dapat diubah menjadi listrik harus mempunyai panjang gelombang yang sesuai dengan energi celah pita material semikonduktor yang digunakan. Cahaya yang mempunyai panjang gelombang lebih besar tidak dapat digunakan. Namun dengan adanya material upconversion, panjang gelombang cahaya ini akan diubah menjadi lebih pendek sehingga dapat diubah menjadi energi listrik oleh sel surya. Sehingga efisiensi sel surya secara keseluruhan akan meningkat. 

Gambar 5. Sel surya yang dilengkapi dengan material upconversion (UC). Cahaya dengan energi kecil (panjang gelombang besar) akan ditingkatkan energinya oleh material UC sehingga dapat berinteraksi dengan semikonduktor pada sel surya.


Pustaka:
http://en.wikipedia.org/wiki/Fluorescence
http://www.rp-photonics.com/upconversion.html
http://www.medscape.com/viewarticle/750940_2
http://www.umassmed.edu/news/news-archives/2014/10/tuning-light-to-kill-deep-cancer-tumors/

Spektroskopi Penerobosan Elektron Tak Elastik

Spektroskopi Penerobosan Elektron Tak elastic atau Inelastic electron tunneling spectroscopy (IETS) merupakan spektroskopi yang banyak digunakan untuk identifikasi kimia, investigasi ikatan dan deteksi senyawa. IETS juga banyak digunakan dalam bidang nanoscience dan molecular junction.

IETS mempunyai persamaan dengan spektroskopi inframerah dan Raman karena ketiganya digunakan untuk mendeteksi vibrasi molekul. Spektroskopi inframerah merupakan spektroskopi vibrasi yang paling terkenal dan telah dikembangkan dengan baik untuk mempelajari molekul yang teradospsi pada permukaan substrat. Spektroskopi Raman digunakan ketika spektroskopi inframerah sulit atau bahkan mustahil digunakan seperti pada kasus molekul yang terlarut di dalam solven yang tidak tembus cahaya inframerah. Atau digunakan pula untuk tipe vibrasi yang tidak aktif terhadap inframerah. Keduanya dibandingkan dengan IETS mempunyai sensitivitas yang lebih rendah. Karena interaksi elektron dengan vibrasi molekul lebih kuat daripada dengan foton, maka satu monolayer molekul sudah cukup untuk menghasilkan spektra IET yang baik. Selain itu pada IETS tidak ada aturan seleksi seperti pada IR dan Raman. Mode vibrasi aktif baik terhadap inframerah maupun terhadap Raman akan nampak di spektra IET. 

IETS ditemukan pada tahun 1966 oleh Jaklevic dan Lambe ketika mereka mempelajari efek tunneling pada metal-oxide-metal junction. Alih-alih menemukan efek struktur pita, mereka menemukan pola karakteristik d2I/dv2 yang berhubungan dengan eksitasi vibrasional molekul pengotor yang ada pada lapisan insulator.

Gambar 1. Gambaran skematis sistem IETS. Persegi panjang menunjukkan elektroda. Di antara elektroda terdapat molekul yang akan dipelajari. Energi vibrasi molekul ditunjukkan dengan garis putus-putus.

Untuk mengetahui bagaimana IETS bekerja, perhatikan Gambar 1. Saat potensial bias diberikan pada kedua elektroda, elektron akan tunnel dari elektroda kiri ke elektroda kanan. Pada gambar paling kiri, elektron mengalami tunneling secara elastik, yaitu tidak ada perubahan energi sebelum dan sesudah tunneling. Pada gambar bagian tengah, apabila potensial bias diperbesar sehingga potensial bias ini sesuai dengan tingkat energi vibrasi molekul, maka saat elektron akan kehilangan energi sebesar perbedaan energi vibrasi ini. Elektron dikatakan mengalami tunneling secara tidak elastik. Tunneling tak elastik ini merupakan jalur transpor elektron baru selain tunneling elastik. Sehingga pada keadaan ini terdapat dua jalur transpor elektron, secara elastik dan secara tak elastik. Akibatnya peningkatan arus akan lebih besar setelah potensial bias melewati titik ini (Gambar 2). Pada Gambar 1 bagian kanan, molekul mengalami relaksasi dan mengemisikan energi. Apabila energi ini ditangkap oleh elektron maka energi elektron akan kembali seperti semula. Ini dinamakan tunneling elastik tingkat kedua. 

Gambar 2. Saat potensial bias sesuai dengan energi eksitasi vibrasi maka arus tunneling akan bertambah


Pustaka
http://pubs.rsc.org/en/Content/ArticleHtml/2011/CS/c0cs00155d
http://en.wikipedia.org/wiki/Inelastic_electron_tunneling_spectroscopy


Pengenalan Magnetisme

Magnet merupakan material yang sangat berguna bagi peradapan manusia. Penggunaan paling sederhana dari magnet adalah sebagai penunjuk arah (kompas). Berbagai penggunaan magnet lain dapat dilihat pada Gambar 1. 

Gambar 1. Berbagai aplikasi magnet dalam kehidupan manusia

Apakah magnet itu?
Di pelajaran IPA SD, untuk pertama kalinya kita dikenalkan tentang magnet. Waktu itu kita diberikan definisi sederhana tentang magnet, yaitu suatu benda yang dapat menarik benda-benda tertentu. Dari definisi itu dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua benda dapat ditarik oleh magnet. Benda-benda nonlogam seperti kertas, gelas, plastik, kayu dan plastik merupakan contoh benda yang tidak dapat ditarik oleh magnet. Bahkan benda-benda tersebut sebenarnya ditolak oleh magnet. Namun karena gaya tolakannya sangat lemah maka akan sulit diamati dengan percobaan sederhana. Beberapa logam seperti perak, emas dan tembaga juga menunjukkan sifat menolak magnet. Logam lain seperti besi, kobalt, baja dan nikel dapat ditarik kuat oleh magnet. Sedangkan aluminum dan platina ditarik lemah oleh magnet. 

Agar dapat memahami mengapa suatu magnet dapat menarik benda-benda tertentu, maka kita harus terlebih dahulu memahami dari manakah sifat kemagnetan itu berasal.

Darimana sifat kemagnetan itu berasal?
Asal mula sifat kemagnetan adalah dari momen-momen magnet yang dihasilkan oleh elektron. Setiap elektron dalam atom mempunyai momen magnet yang berasal dari dua sumber. Pertama berasal dari gerakan elektron mengelilingi inti. Momen magnet ini disebut momen magnet orbital. Sumber kedua berasal dari perputaran elektron pada sumbunya. Momen magnet yang dihasilkan disebut momen magnet spin. Saat momen magnetik dari spin dan orbital ada, maka terjadi kopling dan momen magnetik yang dihasilkan disebut momen magnetik total. 

Gambar 2. Momen magnet spin (a) dan momen magnet orbital (b)

Inti atom (proton dan neutron) juga menghasilkan momen magnet. Akan tetapi momen magnet yang dihasilkan ribuan kali lebih kecil daripada momen magnet yang dihasilkan oleh elektron sehingga pengaruh momen magnet dari inti ini dapat diabaikan. 

Apa yang terjadi apabila material diletakkan pada medan magnet?
Setelah mengetahui tentang momen magnet yang dihasilkan oleh elektron di dalam atom marilah kita membahas lebih jauh tentang sifat kemagnetan suatu material. Perbedaan sifat kemagnetan suatu material dapat diketahui apabila medan magnet luar diberikan pada material itu. Berdasarkan interaksinya dengan medan magnet luar, material dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu material diamagetik, paramagnetik dan feromagnetik.

Apakah perbedaan antara diamagnetik, paramagnetik dan feromagnetik itu?
Diamagnetisme adalah kecenderungan untuk melawan atau menolak medan magnet luar. Pada material diamagnetik, semua elektron berpasangan sehingga momen magnet yang dihasilkan oleh spin saling meniadakan. Akibatnya sifat magnetisme hanya dipengaruhi oleh momen magnet orbital. Ketika suatu material ditempatkan pada medan magnet, elektron-elektron di dalam atom akan mengalami gaya Lorent. Gaya Lorent ini akan meningkatkan gaya sentripetal yang menarik elektron lebih dekat ke inti atom, atau akan mengurangi gaya sentripetal yang membuat elektron menjadi lebih jauh dari inti atom tergantung pada arah medan magnet luar. Perubahan jari-jari orbit elektron ini akan meningkatkan momen magnet orbital yang berlawanan dengan medan magnet luar dan menurunkan momen magnet yang searah dengan medan magnet luar. Sehingga secara keseluruhan akan timbul momen magnet total yang melawan medan magnet luar (magnetisasi negatif). Sebenarnya gejala diamagnetime ini terjadi pada semua material. Namun karena sifat diamagnetisme ini sangat lemah, apabila suatu material mempunyai sifat paramagnetisme atau feromagnetisme, maka sifat paramagetik atau feromagnetik ini akan lebih dominan. Hanya material yang murni diamagnetik yang menunjukkan gejala diamagnetisme.

Gambar 1. Pada material diamagnetik, momen magnetik akan melawan arah medan magnet luar. Apabila medan magnet dihilangkan maka momen magnetnya akan kembali no.

Pada material paramagnetik terdapat elektron tidak berpasangan sehingga momen magnet spin tidak sama dengan nol. Arah momen magnet spin ini acak. Saat dikenai medan magnet luar, momen magnet spin akan menata diri serarah dengan medan magnet luar menghasilkan magnetisasi positif. Saat medan magnet luar dihilangkan, arah momen magnet spin kembali acak.

Gambar 2. Pada material paramagnetik, momen magnet yang awalnya acak akan menata diri sehingga menjadi searah dengan medan magnet luar. Apabila medan magnet luar dihilangkan maka momen magnetnya akan kembali acak. 

Material feromagnetik sama dengan material paramagnetik, yaitu sama-sama mempunyai elektron tidak berpasangan. Feromagnetik dapat dikatakan kasus khusus dari paramagnetik. Perbedaannya adalah saat medan magnet luar dihilangkan momen magnet spin tetap mempertahankan arahnya, tidak kembali acak. Hal ini akibat adanya gaya pertukaran elektronik yang senantiasa menjaga momen magnet selalu searah. Gaya ini sangat besar, kira-kira 100 juta kali lebih besar daripada kekuatan medan bumi. Namun apabila dipanaskan, sifat feromagnetik akan hilang dan momen magnetiknya kembali acak. Temperatur tertinggi dimana sifat feromagnetiknya masih bisa dipertahankan disebut temperatur Curie (Tc).  

Gambar 3. Pada material feromagnet, medan magnet luar menyebabkan momen magnet menjadi searah. Bahkan saat medan magnet luar dihilangkan, momen magnet ini tetap searah. Apabila material ini dipanaskan di temperatur currie maka momen magnetnya kembali acak.

Pustaka:
http://www.irm.umn.edu/hg2m/hg2m_b/hg2m_b.html
http://www.madsci.org/posts/archives/2008-08/1219953614.Ph.r.html
http://what-when-how.com/electronic-properties-of-materials/magnetic-phenomena-and-their-interpretationclassical-approach-magnetic-properties-of-materials-part-1/
http://www.cndailymag.com/use.htm

Spesktroskopi Raman pada Carbon nanotubes


Mungkin banyak di antara kita yang belum mengenal dengan baik apa itu spektroskopi Raman. Karena itu sebelum membahas tentang aplikasinya untuk karakterisasi nanotube karbon, alangkah baiknya kalau kita membahas dasar-dasar teori spektroskopi ini.

Apakah Spektroskopi Raman itu?
Sama seperti teknik spektroskopi lainnya, prinsip spektroskopi Raman adalah adanya interaksi antara cahaya dan materi. Kalau spektroskopi uv-vis menggunakan berkas cahaya ultraviolet dan cahaya tampak sebagai sumber energi untuk mengeksitasi atom/molekul, spektroskopi raman menggunakan berkas cahaya monokromatis berupa laser. 

Spektroskopi Raman didasarkan atas hamburan tak elastik dari laser yang melewati sampel. Hamburan tak elastik mengandung pengertian bahwa frekuensi laser akan bergeser setelah berinteraksi dengan sampel. Pergeseran itu bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari frekuensi awalnya. Pergeseran frekuensi ini menghasilkan informasi mengenai vibrasi, rotasi atau transisi frekuensi rendah lain di dalam molekul. 

Spektra Raman dihasilkan dengan cara menyinari sampel dengan berkas laser monokromatis. Sinar laser yang dihamburkan kemudian ditangkap oleh detektor. Kebanyakan sinar yang dihamburkan memiliki frekuensi yang sama dengan frekuensi awal laser. Hamburan ini dinamakan hamburan Rayleigh atau hamburan elastik karena frekuensinya tidak mengalami perubahan. Hamburan jenis ini tidak berguna untuk identifikasi molekul. Hanya sebanyak 10-3 % dari cahaya akan dihamburkan dengan frekuensi yang mengalami pergeseran. Pergeseran ini disebabkan adanya interaksi antara berkas sinar dengan tingkat energi vibrasi molekul (Gambar 1).

Gambar 1. Interaksi laser dengan molekul sampel menghasilkan tiga tipe hamburan. Pada hamburan Rayleigh, frekuensi akhir sama dengan frekuensi awal. Pada Hamburan Stokes, frekuensi akhir lebih rendah daripada frekuensi awal. Pada hamburan Ant-Stokes, frekuensi akhir lebih besar daripada frekuensi awal.


Sinyal hamburan Raman (Stokes dan anti-Stokes) itu sangat lemah dan susah dideteksi karena berhimpitan dengan hamburan Rayleigh yang dominan. Karena itu dibutuhkan teknik instrumentasi yang baik agar dapat mendeteksi hamburan Raman.

Spektrometer Raman umumnya terdiri dari empat komponen utama, yaitu sumber laser, sampel, pemilih panjang gelombang (filter) dan detektor. 

Gambar 2. Komponen-komponen penyusun spektrometer Raman


Bagaimana cara membaca spektra Raman?
Tiap-tiap pita pada spektra Raman berhubungan dengan frekuensi vibrasi ikatan di dalam molekul. Kasus yang paling sederhana adalah berlian yang hanya tersusun atas ikatan C-C tetrahedral pada struktur kristalnya. Semua ikatan tertrahedralnya mempunyai kekuatan dan orientasi yang sama. Oleh karena itu spektra Raman berlian sangat sederhana, yaitu hanya berupa pita tunggal.

Gambar 3. Spektra Raman berlian, kristal silikon dan kristal germanium

Kristal silikon dan kristal germanium juga menghasilkan pita tunggal karena keduanya juga mempunyai ikatan tetrahedral. Namun karena berat atom silikon dan germanium lebih besar daripada berlian, maka frekuensi vibrasinya lebih rendah.

Karakterisasi nanotube karbon dengan Spektroskopi Raman
Karbon nanotube tersusun atas atom-atom karbon heksagonal yang menggulung membentuk tabung silinder dengan dinding tunggal ataupun ganda. Sifat dari nanotube karbon dapat bervariasi tergantung pada diameter dan kiralitasnya. Distribusi diameter, kiralitas dan kemurnian nanotube karbon dapat dengan mudah diidentifikasi dengan spektriskopi Raman.

Gambar 4. Spektrum Raman HiPco SWNT dengan panjang gelombang laser λexc = 633 nm

Banyak informasi yang dapat diperoleh dari spektra Raman. Sinyal Raman yang teramati pada spektra Raman adalah radial breathing mode (RBM), pita disorder (D), pita graphite (G) dan pita order kedua dari variasi pita-D.

Pita G
Pita G adalah modus geser tangensial atom karbon yang sesuai dengan modus peregangan pada bidang grafit. Dalam grafit sederhana, mode tunggal diamati pada 1580 cm-1. Dalam CNT, mode ini berubah menjadi dua mode, yaitu G+ dan G-. Pita G+ yang mempunyai frekuensi lebih tinggi tidak dipengaruhi oleh diameter nanotube. Sedangkan pita G- menjadi lebih lemah untuk diameter CNT yang lebih kecil. Walaupun pita G ini dapat digunakan untuk memprediksi diameter nanotube, namun kurang akurat dibandingkan dengan RBM.
Selain untuk memprediksi diameter, modus tangensial ini berguna untuk membedakan jenis SWNT apakah termasuk metalik dan semikonduktor. Pada SWNT logam, pita G- melebar dan asimetrik karena keberadaan elektron bebas.

Pita D
Pita D adalah fonon longitunal optical (LO) dan diketahui sebagai modus tak teratur atau modus cacat karena cacat diperlukan untuk menghamburkan secara elastis agar kekekalan momentum terpenuhi. Adanya puncak D yang dominan dibandingkan dengan puncak G biasanya mengindikasikan adanya karbon amorf di dalam sampel.
Mode ini biasanya terletak antara 1330 dan 1360 cm-1 dan memiliki ketergantungan linear pada energi eksitasi laser. Kualitas sampel sering dievaluasi menggunakan rasio intensitas pita D/G. Untuk sampel berkualitas tinggi (tanpa cacat dan tanpa karbon amorf), rasio D/G biasanya kurang dari 2%.

Pita G`
Frekuensi pita G` berada di antara 2500 dan 2900 cm-1. Ini merupakan proses order kedua dari fonon LO batas dua zona. Pita G` merupakan sifat intrinsik nanotube dan graft dan akan selalu ada bahkan pada nanotube bebas cacat dimana pita D sama sekali tidak teramati.

Pita RBM
Pita RBM merupakan konfirmasi adanya nanotube di dalam sampel karena pita ini tidak muncul pada grafit. Pita ini terletak pada 75 hingga 300 cm-1 dari garis eksitasi. Pita ini merupakan pergerakan simetrik atom karbon dengan arah radial seperti gerakan kembang kempis pernafasan. Hal yang penting mengenai modus ini adalah fakta bahwa frekuensi RBM hanya tergantung pada diamater nanotube dan tidak dipengaruhi oleh kiralitasnya. Frekuensi RBM berbanding terbalik dengan diameter nanotube (d) dengan persamaan:
ωRBM = A /d + B
dimana A dan B adalah konstanta yang nilainya tergantung pada efek lingkungan seperti padakan nanotube berada dalam bentuk tunggal, terbungkus surfaktan, pada permukaan substat atau dalam bentuk bundel.
Persamaan di atas biasanya valid hanya kalau diameter nanotube berkisar antara 1-2 nm. Apabila diamaternya kurang dari 1 nm, distorsi kisi nanotube menyebabkan adanya ketergantungan RBM terhadap kiralitas nanotubes. Sebaliknya apabila diamater lebih dari 2 nm, intensitas RBM biasanya lemah dan susah diamati.

Gambar 5. modus vibrasi pita RBM dan pita G


Spektroskopi Raman menghasilkan informasi yang berguna untuk identifikasi CNT. Walaupun modus D, G dan G` ditemukan juga di grafit, namun modus RBM hanya ditemukan pada CNT. Sehingga keberadaan modus RBM merupakan bukti adanya CNT di dalam sampel. Modus D dan G` menyediakan informasi menyenai cacat atau ketidak murnian sampel CNT.

Kelemahan dari spektroskopi Raman adalah ketidakmampuannya dalam identifikasi kuantitatif derajat fungsionalisasi pada dinding nanotubes. Walaupun rasio D/G dapat digunakan sebagai indikasi banyaknya fungsionalisasi, namun rasio ini tidak dapat digunakan secara umum. Dalam arti lain rasio ini tidak dapat digunakan apabila subtituen yang digunakan berbeda. Sebagai contoh pada thiol-SWNT dan thiophene-SWNT. Pada derajat fungsionalisasi yang sama, rasio D/G keduanya berbeda. Untuk MWNT, sinyal Raman menjadi lebih kompleks dan lebih sulit diinterpretasi karena terdapat banyak nanotubes dengan diameter yang berbeda. 

Pustaka: 
http://www3.nd.edu/~kamatlab/facilities_spectroscopy.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Raman_spectroscopy
http://cnx.org/contents/dbcfa4b2-7859-4674-a814-9a79e43d87fd@2/characterization-of-single-walled-carbon-nanotubes-by-raman-spectroscopy

Konduksi Balistik

Pada teori konduktivitas kita mengenal istilah jarak bebas rata-rata (mean free path), yaitu jarak rata-rata yang dapat ditempuh oleh elektron sebelum bertumbukan. Tumbukan ini yang menyebabkan proses penghamburan elektron. Tanpa penghamburan, elektron akan mematuhi hukum kedua newton dan elektron akan senantiasa bergerak semakin cepat. Hamburan ini dipengaruhi oleh adanya pengotor dan cacat kristal serta adanya atom/molekul penyusun medium yang terus berosilasi (pada padatan) atau atom/molekul yang bergerak bebas di dalam medium (pada gas). Hamburan menyebabkan suatu penghantar mempunyai hambatan (resistivitas) dan terjadinya kehilangan energi dalam bentuk panas.

*Teori klasik mengenai konduktivitas pada logam dapat dilihat di sini.

Coba kita bayangkan suatu kawat yang sangat kecil berukuran nanometer, dan panjangnya lebih kecil daripada jarak bebas rata-rata elektron. Maka pada kasus ini elektron tidak akan mengalami penghamburan. Elektron hanya akan berubah gerakannya saat bertumbukan dengan dinding konduktor. Tanpa hamburan, elektron akan bergerak tanpa hambatan dari satu ujung kawat ke ujung yang lain. Kehilangan energi hanya terjadi pada kontak, namun tidak ada kehilangan energi pada konduktor. Proses ini dikenal dengan sebutan transpor balistik karena elektron bergerak seperti peluru yang ditembakkan. Dibandingkan dengan kecepatan termalnya, kecepatan balistik jauh lebih besar.

Gambar 1. (a) Saat panjang kawat penghantar (L) lebih besar daripada jarak bebas rata-rata (l), terjadi hamburan sepanjang penghantar dan mekanisme transpor elektron yang terjadi adalah difusi. (b) Saat L sama atau lebih kecil daripada l, tidak terjadi hamburan elektron dan mekanisme transpor yang terjadi adalah balistik.

Pada transpor balistik, konduktansi menjadi terkuantisasi. Quantum konduktan (G0) merupakan nilai konduktan terkecil yang nilainya adalah G0 = 2e2/h. Semua konduktor balistik sempurna akan mempunyai konduktan yang nilainya kelipatan bilangan bulat dari G0. Agar transpor balistik teramati, energi termal harus jauh lebih kecil daripada εiεi-1Dimana εi - εi-1 adalah pemisahan energi antara sub band level.



Konduksi balistik dapat teramati pada nanowire logam. Konduksi balistrik berbeda dengan superkonduktor karena tidak adanya efek Meissner. Konduktor balistik akan berhenti menghantarkan apabila driving forcenta dimatikan, namun pada superknduktor, arus akan selalu mengalir walaupun sumber tegangan diputus.

Pustaka:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ballistic_conduction
http://www.jsap.or.jp/jsapi/Pdf/Number03/CuttingEdge1.pdf

Model Drude pada Logam

Pada tahun 1900, Paul Drude mengemukakan suatu teori yang menjelaskan konduktivitas di dalam suatu material, khususnya logam. Teori ini merupakan teori pertama yang mampu menjelaskan secara baik hukum Ohm dengan pendekatan mekanika klasik, yaitu elektron dipandang sebagai partikel bermuatan negatif. Keunggulan lain dari teori ini adalah kemampuannya dalam memprediksi adanya frekuensi plasma dan mampu memprediksi rasio konduktifitas termal/listrik dengan baik.

Menurut model Drude, logam tersusun atas ion-ion bermuatan positif yang diam dan elektron-elektron yang dapat bergerak secara acak dengan kecepatan rata-rata v. Dalam pergerakannya, elektron mengalami tumbukan berulang kali dengan ion positif seperti mesin pinball. Setelah bertumbukan elektron-elektron berubah arah geraknya. Namun ion positif tidak terpengaruh oleh tumbukan ini karena massanya jauh lebih besar daripada elektron. Tanpa adanya medan listrik dari luar, tumbukan ini berlangsung secara acak dan elektron bergerak ke segala arah. Apabila logam tersebut dikenai medan listrik, maka elektron akan hanyut (drift) dengan arah berlawanan dengan arah medan listrik. Kecepatan hanyut ini lebih kecil daripada kecepatan acaknya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. (a) tanpa adanya medan listrik elektron bergerak acak dan menumbuk ion positif berulang kali. (b) apabila dikenai medan listrik, elektron mengalami drift akibat adanya gaya tarik elektrostatik.

Saat medan listrik E dikenakan pada logam, maka elektron akan mengalami percepatan sebesar:
Sesaat sebelum tumbukan berikutnya, elektron akan mempunyai kecepatan hanyut (drift velocity) rata-rata sebesar:
dimana τ = mean free timeλ = mean free path, dan v = kecepatan rata-rata acak elektron.

Subtitusi persamaan (1) ke persamaan (2) menghasilkan:
Apabila n adalah jumlah elektron tiap satuan volume, e adalah muatan listrik satu elektron dan J adalah densitas arus listrik, maka:

Jika σ = konduktivitas, dan = J/E, maka
Model Drude berasumsi bahwa elektron berperilaku seperti partikel. Selain itu Drude juga berasumsi tidak adanya interaksi jarak jauh antar elektron atau antara elektron dengan ion positif. Walaupun asumsi-asumsi ini tidak sepenuhnya benar, namun kemampuan model ini dalam menjelaskan konduktivitas logam dengan baik patut diperhitungkan.

Pustaka:
http://people.seas.harvard.edu/~jones/es154/lectures/lecture_2/drude_model/drude_model_cc/drude_model_cc.html
http://www.pha.jhu.edu/~jeffwass/2ndYrSem/slide7.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Drude_model

Mengenal Eksiton

Apakah eksiton itu?
Eksiton adalah pasangan hole dan elektron yang terikat oleh gaya elektrostatik. Eksiton merupakan quasipartikel netral yang dapat teramati pada semikonduktor, insulator dan kristal molekular. 

Bagaimana eksiton terbentuk?
Absorpsi foton oleh suatu material semikonduktor atau insulator menyebabkan transisi elektronik dari pita valensi ke pita konduksi. Akibat dari transisi ini adalah terbentuknya hole pada pita valensi dan elektron pada pita konduksi. Karena muatannya berlawanan, terjadi interaksi coulomb antara keduanya. Pasangan hole dan elektron inilah yang disebut eksiton. Seperti halnya pasangan proton dan elektron di dalam atom, eksiton juga dapat mengalami eksitasi bila dikenai foton yang sesuai dengan energinya. Sifat optik dari eksiton sangat penting untuk aplikasi optoelektronik, yaitu peralatan elektronik yang berhubungan dengan cahaya. 

Gambar 1. Proses terbentuknya eksiton. (A) Pada semikonduktor dan insulator, terdapat pita valensi yang terisi penuh dengan elektron dan pita konduksi yang kosong. Celah di antara pita valensi dan konduksi disebut energi celah pita (Eg). (B) Saat dikenai foton, elektron dari pita valensi tereksitasi ke pita konduksi menghasilkan hole pada pita valensi. Hole (bermuatan positif) dan elektron (bermuatan negatif) saling menarik dengan gaya elektrostatik. Pasangan hole dan elektron ini yang disebut eksiton.


Tipe eksiton
Eksiton dapat teramati pada berbagai material kristalin. Terdapat dua tipe eksiton, yaitu eksiton Wannier-Mott dan Frenkel. Eksiton Wannier-Mott disebut juga sebagai free exciton karena dapat bergerak dengan bebas di dalam kristal. Eksiton ini biasanya teramati pada material semikonduktor. Sedangkan eksiton Frenkel terikat kuat pada suatu atom atau molekul dan hanya dapat bergerak melalui mekanisme hopping dari satu atom ke atom lain. Eksiton ini ditemukan pada kristal insulator dan kristal molekular.

Gambar 2. Tipe-tipe eksiton. Eksiton Wannier-Mott mempunyai radius yang besar dan meliputi banyak atom. Frenkel eksiton sebaliknya mempunyai radius yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran sel satuan.

Secara sederhana, eksiton dapat dipandang sebagai sistem hidrogenik (proton+elektron) positronium (positron+elektron). Tidak semua transisi elektronik menghasilkan eksiton. Hanya pada kondisi tertentu eksiton terbentuk. Eksiton stabil akan terbentuk bila energi ikat elektrostatiknya cukup untuk melindungi eksiton dari fonon. Energi maksimum dari fonon termal pada temperatur T adalah kbT dimana kb adalah konstanta Boltzman. Maka eksiton akan stabil apabila energi ikat eksiton lebih besar daripada kbT. Eksiton Wannier-Mott eksiton mempunyai energi ikat kecil sekitar 0,01 eV. Pada temperatur kamar, besarnya kbT adalah 0,025 eV sehingga eksiton ini hanya teramati pada temperatur cryogenik. Berbeda dengan eksiton Frenkel yang mempunyai energi ikat yang besar, antara 0,1-1 eV, sehingga eksiton ini stabil pada temperatur kamar. 

Transisi Optik Eksiton Wannier-Mott
Eksiton dapat terbentuk jika group velocity (v) dari elektron dan hole sama. Karena pada k = 0, group velocity keduanya selalu sama, maka absorpsi eksitonik yang dapat diamati pada daerah dekat dengan bandgapnya. 

Gambar 3. (a) tingkat energi eksiton (b) absorpsi teoretis eksiton Wannier-Mott


Pustaka:
https://www.lanl.gov/science/1663/june2010/story2a.shtml
http://ocw.mit.edu/courses/electrical-engineering-and-computer-science/6-973-organic-optoelectronics-spring-2003/lecture-notes/7.pdf
http://www.physics.hku.hk/~phys2235/lectures/lecture9.pdf

Waktu Senja Teknologi Silikon

Perkembangan teknologi telah mendorong industri semikonduktor untuk memproduksi peralatan logic (logic device) yang semakin kecil, makin cepat dan lebih bertenaga. Komputer generasi pertama yang dinamakan ENIAC membutuhkan ruangan yang sangat besar. Sekitar sepuluh tahun kemudian ukuran komputer menjadi berkurang drastis karena menggunakan transistor sebagai pengganti tabung vakum. Hingga saat ini transistor yang berbahan dasar silikon masih digunakan sebagai komponen utama pada prosesor komputer. 

Salah satu pendiri Intel, Gordon Moore, pada tahun 1965 mempublikasikan sebuah tulisan tentang perkembangan teknologi silikon di masa yang akan datang. Menurut Moore, jumlah transistor yang terdapat di dalam sebuah integrated circuit (IC) akan bertambah sebanyak dua kali lipat setiap 18-24 bulan. Dengan kata lain, ukuran transistor akan semakin kecil menjadi sekitar setengahnya. Sangat mengejutkan, ternyata hukum ini berlaku hingga puluhan tahun kemudian. 

Gambar 1. Hukum Moore memprediksi jumlah transistor yang ada pada tiap microprosesor akan meningkat sebanyak dua kali tiap 18-24 bulan.

Salah satu teknologi yang mendukung tercapainya miniaturisasi transistor adalah teknologi litografi. Dengan teknologi litografi, manusia mampu menciptakan dan menyusun transistor dengan skala nanometer. Saat ini, prosesor i7 generasi kelima yang diproduksi Intel telah menggunakan teknologi litografi 14 nm. 

Apakah Hukum Moore akan selamanya berlaku? Tentu proses miniaturisasi transistor itu tidak akan selamanya bisa berlangsung. Bayangkan apabila kita mampu mengecilkan ukuran transistor dengan cara memotong bagian besar menjadi bagian yang lebih kecil secara terus-menerus. Maka akan ada saatnya kita mendapat hanya satu lapis atom silikon dan tidak mungkin lagi memotong satu atom tersebut. Bahkan saat pengurangan ukuran silikon belum mencapai satu lapis, sifatnya sebagai transistor akan berubah karena gejala mekanika kuantum mulai nampak.

Di bidang konstruksi material juga terdapat batasan fisik fundamental yang sangat sulit atau bahkan mustahil diatasi. Sebagai contoh, kebocoran muatan (charge leakage) akan terjadi ketika lapisan insulator silikon dioksida diperkecil hingga ketebalannya hanya mencapai lapisan tiga atom. Silikon dioksida merupakan insulator yang baik. Namun apabila ketebalannya semakin berkurang, kemampuannya sebagai insulator akan semakin menurun karena resistansi berbanding langsung dengan ketebalan (panjang). Pada suatu saat saat ketebalannya sangat tipis, hanya beberapa lapis atom, maka akan terjadi fenomena hantaran elektron yang disebut tunneling. Silikon dioksida tidak lagi bersifat isolator. 

Panas yang dihasilkan oleh mikroprosesor juga akan sangat besar. Bisa jauh lebih panas dari pada permukaan panci untuk memasak. Selain itu struktur pita energi silikon akan berubah saat ukurannya menjadi sangat kecil. Teknologi litografi yang sangat diandalkan juga akan segera mencapai batasannya, bahkan sekalipun dengan teknologi litografi canggih seperti e-beam lithography, extreme UV lithography, dan x-ray lithography.

Dengan semakin kecilnya ukuran, kontrol terhadap kontaminan dan cacat kristal menjadi sangat penting. Saat ini pengotor logam yang terdapat pada asam sulfat yang digunakan pada proses fabrikasi silikon mempunyai kadar sangat rendah, dalam ukuran part-per-billion (ppb). Namun apabila asam sulfat ini digunakan untuk produksi silikon dengan ukuran jauh lebih kecil lagi, maka kadar kontaminan yang diijinkan haruslah sekitar part-per-trillion (ppt). Kadar yang sangat sulit dipenuhi oleh industri asam sulfat. 

Adanya keterbatasan-keterbatasan yang akan dihadapi oleh teknologi silikon di masa yang akan datang membuat manusia harus berpikir alternatif material lain. Saat ini, IBM telah menginvestasikan 3 milyar dolar untuk dua program penelitian terkait dengan usaha untuk mendobrak keterbatasan teknologi chip dan hukum Moore. Penelitian itu mempunyai tujuan untuk menguasai teknologi 7 nm. 


Prinsip Dasar Mode Ketukan (Tapping Mode) pada Mikroskop Gaya Atom (Atomic Force Microscope = AFM)

Telah dibahas sebelumnya bahwa dalam pengoperasian AFM, kita dapat memilih mode apa yang akan kita gunakan, apakah mode sentuh, mode tak sentuh atau mode ketukan. Masing-masing mode mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba membahas mode ketukan sedikit lebih banyak. 

Di antara mode yang lain , mode ketukan merupakan mode yang paling populer. Metode ini dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan pada mode sentuh. Mode sentuh dapat memberikan resolusi yang tinggi namun karena tip diseret sepanjang permukaan sampel, tip menjadi mudah patah. Pada metode ketukan, tip dibawa mendekat permukaan sampel hingga menyentuh namun kemudian tip secara cepat diangkat dari permukaan sampel sehingga tip tidak terseret saat scanning dilakukan.

Metode ketukan dilakukan dengan cara menggetarkan catilever dengan bantuan piezeelectric material. Piezo ini memberi gaya ke atas secara cepat sehingga cantilever akan bergetar pada ujungnya. Hal yang sama dapat kita amati kalau kita memegang sebuah tongkat lentur panjang, misal terbuat dari bilah bambu. Kemudian tangan kita memberi gaya seperti gerakan mengetuk, maka ujung bambu yang jauh dari tangan kita akan berayun bolak-balik melalui titik keseimbangan awal. Apabila ujung bambu tadi kita dekatkan ke tanah, maka seakan-akan bambu itu mengetuk-ketuk tanah secara terus-menerus. Inilah yang terjadi pada cantilever, ujung cantilever dikatakan berosilasi pada frekuensi resonansinya.

Gambar 1. Ujung cantilever yang terdapat tip pada ujung bawahnya akan berosilasi pada frekuensi resonansinya. Ketika cantilever yang sedang berosilasi didekatkan ke permukaan sampel, frekuensi resonansi dan amplitudonya akan turun. (gambar diambil dari www.azonano.com)


Saat cantilever berada jauh di atas permukaan sampel, cantilever dapat berosilasi dengan bebas dengan ampitudo tinggi (biasanya mencapai 20 nm). Cantilever yang sedang berosilasi kemudian dibawa mendekati permukaan sampel hingga menyentuh permukaan. Saat cantilever mendekati permukaan sampel, amplitudo osilasinya berkurang karena ruang untuk berosilasinya menjadi berkurang. Berkurangnya amplitudo digunakan untuk mendapat informasi mengenai kondisi permukaan sampel. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada video di bawah ini.





Mari Berkenalan dengan Scanning Tunneling Microscopy (STM)

Setelah sedikit pembahasan tentang mikroskop gaya atom (AFM), pada kesempatan kali ini saya tertarik menulis tentang STM. Kebetulan saya dapat pelatihan STM minggu lalu jadi menulis tentang STM membantu saya mengingat prinsip dan cara kerja STM.

AFM dan STM termasuk kelompok Scanning Probe Microscopy (SPM) karena keduanya menggunakan tip sebagai alat peraba permukaan sampel. Perbedaannya terletak pada mekanisme perabaannya. Pada AFM, gaya tarik/tolak antara permukaan sampel dan ujung tip diterjemahkan menjadi informasi morfologi 3D permukaan sampel. Sedangkan pada STM, morfologi permukaan sampel diketahui dari besar kecilnya elektron tunneling yang mengalir saat tip mendekati permukaan sampel. Karena STM bekerja dengan berdasarkan arus tunneling, maka sampel pada STM haruslah bersifat konduktor.

Gambar 1. Gambar STM permukaan Highly Ordered Pyrolitic Graphite (HOPG). Gambar ini menunjukkan dengan jelas susunan heksagonal dari atom-atom karbon pada permukaan grafit. (gambar diambil dari www.aist-nt.com)

STM dikembangkan sebelum AFM, yaitu pada tahun 1982 oleh Gerg Binnig dan Heinrich Rohrer, peneliti dari IBM. Keduanya memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1986 atas penemuannya yang sangat mengagumkan. 

Komponen dasar pada STM ada lima, yaitu tip logam, scanner piezoelectric, current amplifier, bipotentiostat (bias) dan feedback loop (current). Kelimanya disusun seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema alat STM (diambil dari www.physicscentral.com)

Tip STM terbuat dari bahan yang bersifat konduktif seperti tungsten atau paduan platina-iridium. Tip yang baik adalah tip yang sangat runcing di bagian ujungnya. Cara membuat tip yang runcing sangat mudah. Hanya dengan memotong kawat dengan alat potong. Cara memotong kawat menentukan kualitas tip yang dihasilkan. Biasanya tip dipotong dengan sudut kurang dari 45o dan agak ditarik sehingga menghasilkan tip runcing yang mempunyai satu atom pada bagian ujungnya. 

Apakah arus tunneling itu?
Sebelum membahas lebh jauh tentang STM, alangkah baiknya kita memahami terlebih dahulu apa itu arus tunnel. Berbeda dengan arus listrik biasa dimana elektron mengalir melalui penggantar, pada arus tunnel, elektron mengalir dengan cara menerobos penghalang (barrier). Secara hukum fisika klasik, arus tunnel tidak mungkin terjadi. Dalam pandangan fisika klasik, elektron dianggap sebagai partikel menyerupai bola yang sangat kecil. Bayangkan kalau kita melempar bola ke arah tembok, maka bola tersebut akan memantul kembali ke kita, tanpa bisa melewati tembok dan tembus ke ruangan yanga ada di belakang tembok.

Namun pada pandangan fisika modern, elektron dipandang sebagai gelombang. Karena itu elektron mempunyai peluang untuk menerobos penghalang, seperti bola yang menerobos tembok. Peristiwa penerobosan inilah yang disebut dengan tunneling.

Gambar 3. Dalam mekanika kuantum, elektron dipandang sebagai gelombang yang mampu menerobos penghalang. Energi elektron setelah penerobosan tetap sama namun amplitudonya berkurang. (gambar diambil dari spectrum.ieee.org)

Gerakan elektron menghasilkan arus listrik, sehingga saat elektron menerobos penghalang, kita dapat mendeteksi adanya arus listrik di belakang penghalang. Arus listrik ini disebut sebagai arus tunneling. Arus tunneling sangat tergantung pada ketebalan penghalang. Semakin tebal penghalang maka semakin kecil arus tunneling yang dihasilkan. Gambar 4 menjelaskan bagaimana arus tunneling terjadi pada STM.


Gambar 4. Terjadinya arus tunneling pada STM

(a) Pada logam, elektron mengisi tingkat-tingkat energi. Tingkat energi tertinggi yang ditempati elektron disebut energi Fermi. Untuk terlepas dari permukaan logam, elektron pada tingkat energi fermi membutuhkan tambahan energi yang disebut fungsi kerja.
(b) ketika spesimen dan tip saling mendekat, terdapat celah kecil (vacuum gap) di antaranya. Vacuum gap ini yang berperan sebagai penghalang (barrier). Apabila jarak antara spesimen dan tip sangat dekat (vacuum gap sangat kecil), elektron dapat menerobos (tunnel) melewati penghalang ini.
(c) Apabila potensial bias diberikan antara spesimen dan tip, maka akan terjadi arus tunneling yang mengalir dari spesimen ke tip atau sebaliknya. 

Jadi ada dua faktor yang harus dipenuhi agar arus tunneling terjadi. Pertama jarak antara spesimen dan tip sangat dekat, dalam hitungan nanometer. Dalam pandangan mekanika kuantum, jarak yang saling berdekatan membuat fungsi gelombang elektron spesimen dan tip saling overlap. Faktor kedua adalah adanya potensial bias agar terjadi aliran arus yang bisa diamati. Tanpa adanya potensial bias, terjadi arus tunneling dari spesimen ke tip dan juga dari tip ke spesimen. Kedua arus tunneling tersebut sama besar sehingga arus tunneling total sama dengan nol. Apabila potensial bias positif diberikan pada spesimen maka terjadi aliran elektron dari tip ke spesimen (Gambar 5a). Sebaliknya apabila potensial bias negatif diberikan pada spesimen, maka aliran elektron terjadi dari spesimen ke tip (Gambar 5b).


Gambar 5. Arus tunneling terjadi apabila jarak antara tip dan spesimen sangat dekat dan juga apabila potensial bias diberikan terhadap tip dan spesimen.

Bagaimana prinsip kerja STM?
STM dapat bekerja dengan dua mode, yaitu arus tetap dan tinggi tetap. Selama proses pemindai (scanning) apabila tip menjumpai bagian yang lebih tinggi pada permukaan sampel maka terjadi peningkatan arus tunneling. Pada mode arus tetap, feedback control akan memberi perintah kepada material piezoelectric untuk menggerakkan tip menjauh dari permukaan sampel hingga arus kembali konstan. Pergerakan tip kemudian direkam dan digunakan untuk mengetahui topografi permukaan sampel. Pada mode tetap, tinggi tip selalu konstan, perubahan arus tunneling yang direkam sebagai informasi topografi permukaan sampel.

Gambar 6. Prinsip kerja pada STM. (a) mode tinggi konstan, (b) mode arus konstan (gambar diambil dari www.parkafm.co.jp)

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah besarnya arus tergantung juga pada local density of state dari sampel. Sebagai contoh bisa dilihat pada Gambar 7. Pada Gambar 7 terlihat bahwa adsorbat warna hijau dan biru mempunyai tinggi yang sama namun arus tunneling yang dihasilkan berbeda. Arus tunneling ketika tip berada di atas adsorbat warna biru lebih tinggi daripada arus tunneling pada adsorbat warna hijau. Hal ini menunjukkan bahwa density of state adsorbat biru lebih tinggi daripada adsorbat hijau. Jadi, STM sebenarnya TIDAK dapat menentukan posisi atom atau molekul secara langsung, namun STM hanya mampu menentukan posisi DENSITAS ELEKTRON di sekitar atom atau molekul.



Gambar 7. Proses pemindai pada STM. Apabila tip STM mendekati permukaan yang lebih tinggi, maka jarak antara tip dan sampel berkurang. Akibatnya terjadi peningkatan arus tunneling.

Mengapa STM sangat sensitif?
Seperti dibahas sebelumnya bahwa besarnya arus tunneling tergantung dengan jarak antara tip dengan spesimen. Untuk logam dengan fungsi kerja 4 eV, arus tunneling bertambah sebanyak 10 kali untuk tiap penurunan jarak tip-spesimen sebesar 0,1 nm. Ini berarti apabila terdapat perbedaan jarak satu atom (sekitar 0,3 nm), terjadi perbedaan arus tunneling sebesar 1000 kalinya. Sensor elektronik di dalam STM tentu dengan mudah membedakan arus tunneling dengan perbedaan hingga 1000 kali. Inilah yang membuat STM sangat sensitif, lebih baik daripada AFM untuk melihat hingga skala atomik.

Begitulah sekilas penjelasan mengenai STM dari saya. Semoga memberi manfaat.