Proses Pemindai pada STM

STM merupakan mikroskop yang mampu menghasilkan gambar dalam skala atomik sehingga mampu melihat atom dan molekul.

Mekanisme Pembakaran

Pada artikel ini dibahas secara singkat bagaimana pembakaran terjadi pada senyawa organik terutama polimer

Korosi Celah

Korosi celah disebabkan oleh adanya air yang terjebak pada celah sempit antar sambungan atau retakan.

Material karbon

Saat ini nanomaterial karbon seperti CNT dan grafen banyak menarik perhatian karena sifatnya yang unik.

Zeolit

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Konsep Kendaraan Hibrida Ramah Lingkungan Berbasis Fuel Cell dan Solar Cell

Perkembangan jumlah penduduk dunia yang sangat pesat telah memaksa penggunaan energi dalam jumlah besar guna melestarikan kelangsungan hidup manusia tersebut. Saat ini sumber energi yang paling banyak digunakan adalah minyak bumi dan bahan bakar mineral lainnya seperti gas bumi dan batu bara, pengguanaan bahan-bahan tersebut sebagai sumber energi telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan diantaranya polusi udara semakin meningkat, gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global serta permasalahan lain yang mengarah pada kelangkaan bahan bakar akibat sumber energi tersebut bersifat tidak dapat diperbaharui.

Penggunaan air sebagai bahan bakar diharapkan dapat mengatasi permaslahan tersebut, selain terdapat melimpah di bumi juga emisi buangan dari kendaraan berbahan bakar air tidak menimbulkan permasalahan lingkungan seperti yang ditimbulkan bahan bakar fosil. Kendaraan dengan sistem solar cell dan fuel cell merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut, dimana air dapat langsung dikonversi menjadi hidrogen dan oksigen yang selanjutnya dialirkan ke sistem fuel cell untuk menghasilkan listrik untuk menggerakkan kendaraan. Salah satu keunggulan dari kendaraan jenis ini adalah tidak perlu menggunakan sistem penyimpan hidrogen sehingga harga produksi kendaraan ini akan lebih murah.

Fuel Cell

Fuel cell merupakan alat konversi energi elektrokimia yang akan mengubah hidrogen dan oksigen menjadi air, secara bersamaan menghasilkan energi listrik dan panas dalam prosesnya sistem elektrokimia (Booth, 1993). Struktur dari divais fuel cell terdiri dari sebuah lapisan elektrolit yang bergubungan dengan anoda dan katoda berpori pada kedua sisinya. Skema dari sistem fuel cell lengkap dengan reaktan, produk dan ion yang mengalir melalui elektrolit disajikan pada gambar 1.



Gambar 1. skema sistem fuel cell individu

Pada fuel cell, gas hidrogen sebagai bahan bakar berinteraksi terus menerus dengan anoda sebagai elektroda negatif dan oksigen terkonsumsi pada katoda sebagai elektroda positif. Reaksi elektrokimia terjadi pada kedua elektroda menghasilkan arus listrik. Karakteristik dan komponen fuel cell sendiri mirip dengan baterai pada umumnya, hanya terdapat perbedaan pada beberapa bagian. Baterai merupakan divais penyimpan energi, jumlah energi maksimum yang terkandung dalam baterai tergantung pada seberapa besar baterai tersebut dapat menampung senyawa kimia sebagai reaktan, energi listrik akan dihasilkan ketika reaktan terkonsumsi (discharged). Beberapa jenis baterai, reaktan dapat diregenerasi dengan dengan pengisisan ulang (recharging) dengan menggunakan energi dari sumber lain. Di sisi lain, fuel cell merupakan divais pengkonversi energi, dimana energi listrik akan terus dihasilkan selama masih terdapat suplai bahan bakar pada elektroda (Jacoby, 2003).

Saat ini di negara-negara maju sudah dikembangkan kendaraan berbasis fuel cell, dimana kendaraan tersebut tidak mengimisikan CO2 dan gas-gas berbahaya lainnya tetapi hanya mengemisikan uap air yang sama sekali tidak berbahaya bagi lingkungan.

Dye Sensitizer Solar Cell (DSSC)

Konversi energi matahari menjadi energi listrik dilakukan dengan menerapkan sistem fotovoltaik. Dewasa ini, perkembangan solar cell dengan menggunakan divais semikonduktor sudah demikian pesat. Secara sederhana solar cell fotovoltaik terdiri dari persambungan bahan semikonduktor bertipe p dan n (p-n junction semiconductor) yang jika tertimpa sinar matahari akan menghasilkan aliran elektron atau yang disebut dengan aliran listrik.

Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) merupakan solar cell generasi ketiga setelah solar cell berbasis silikon dan solar cell berbasis semikonduktor polikristalin sebagai pendahulunya. Pada solar cell konvensional, foton atau sinar matahari berinteraksi dengan semikonduktor yang kemudian menghasilkan listrik. Sedangkan pada DSSC, dye (zat warna) yang ditempatkan pada permukaan semikonduktor yang berinteraksi dengan foton sebagai pemanen cahaya (Light harvesting). Secara teoritis efesiensi yang dihasilkan DSSC lebih baik karena zat warna bekerja pada daerah sinar tampak hingga infra merah, pada rentang panjang gelombang (energi) yang lebih lebar, sedangkan semikonduktor hanya dapat berinteraksi dengan sinar ultra violet (UV) yang faktanya sebagian besar sinar UV tidak sampai pada permukaan bumi karena terhalang oleh lapisan ozon (Gratzel, 2001).

Dibanding dengan dua generasi sebelumnya DSSC memiliki banyak keunggulan baik dari segi efesiensi maupun dari segi harga produksi. Dalam waktu penelitian selama sepuluh tahun efesiensi yang dicapai solar cell jenis ini telah menyamai efesiensi yang dicapai solar cell sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan selama dua puluh lima tahun. Dari segi harga produksi, DSSC lebih murah, dengan kemudahan dalam memperoleh bahan baku serta proses fabrikasi yang tidak sulit. Salah satu contoh senyawa kompleks rutenium disajikan pada gambar 2.



Gambar 2. Kompleks Rhutenium dye N3 (cis-RuL2(NCS)2 (Gratzel, 2003)

Selain dapat berfungsi sebagai solar cell itu sendiri yakni energi listrik yang dihasilkan langsung dimanfaatkan, DSSC dapat pula dimanfaatkan sebagai pemecah air dalam proses produksi hidrogen. Energi listrik yang dihasilkan solar cell tidak dapat disimpan langsung dalam bentuk listrik, tetapi dapat disimpan dalam bentuk lain salah satunya dalam bentuk energi kimia seperti hidrogen. Hidrogen merupakan salah satu unsur yang dapat dijadikan bahan bakar, karena memiliki kandungan energi per satuan berat tertinggi diantara berbagai jenis bahan bakar (Bard et al, 1995). Penggunaan hidrogen saat ini cukup pesat perkembangannya dari kendaraan, alat elektronik portabel, hingga alat-alat rumah tangga.

Secara sederhana solar cell terdiri dari persambungan bahan semikinduktor bertipe p dan n (p-n junction semiconductor) yang jika tertimpa sinar matahari maka akan terjadi aliran elektron, aliran elektron ini disebut dengan aliran listrik. Bagian utama perubah energi sinar matahari menjadi listrik adalah absorber (penyerap). Sinar matahari terdiri dari berbagai macam jenis gelombang elektromagnetik, absorber diharapkan dapat menyerap sebanyak mungkin radiasi sinar yang berasal dari cahaya matahari tersebut. Untuk mendapatkan efesiensi solar cell yang tinggi maka foton yang berasal dari sinar matahari harus dapat diserap sebanyak-banyaknya, refleksi dan rekombinasi sinar diperkecil serta memperbesar konduktivitas bahan.

Produksi Hidrogen dari Pemecahan Air

Hidrogen dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi sederhana dua sistem berbeda yakni sistem fotovoltaik yang menghasilkan listrik dan sistem elektrolisis air. Setiap solar cell yang dapat menghasilkan tegangan lebih besar dari 1,5 V dapat digunakan untuk elektorlisis air secara langsung menghasilkan hidrogen dan oksigen (Dimroth et al, 2006).



Gambar 3. Sistem tunggal fotovoltaik dan elektrolisis air

Elektrolisis air pada elektrolit secara teoritis dapat berlangsung pada tegangan 1,23 V, tetapi pada praktiknya reaksi baru dapat berlangsung pada tegangan diatas 1,48 V. Hal ini karena berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi sistem harus dilewati seperti potensial lebih dan hambatan. Secara termodinamika entalpi reaksi elektrolisis air sebesar 285,83 kJ/mol (25 ºC, 1 atm). Nilai tersebut termasuk energi bebas Gibbs sebesar ΔG = 237,1 kJ/mol dan energi panas TΔS = 48,7 kJ/mol yang memberikan kontribusi peningkatan entropi pada proses disosiasi yakni energi yang tidak digunakan untuk kerja (workless energy). Jika diasumsikan bahwa seluruh energi yang dibutuhkan untuk elektrolisis air berasal dari listrik, maka potensial termonetral sebesar 1,48 V (39kWh/kg) harus disuplai untuk setiap atom H. Ketika arus yang digunakan sangat kecil maka harus ada suplai enegi panas TΔS dari lingkungan (Dimroth et al, 2006).

Gabungan Sistem DSSC, Sistem Pemecah Air dan Fuel cell

Hidrogen yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan maupun alat-alat portabel yang menggunakan sistem fuel cell. Selama ini proses produksi hidrogen membutuhkan energi yang cukup besar serta dihasilkan pula limbah yang dapat mencemari lingkungan. Penggunaan tandem device (divais gabungan) yakni sistem solar cell dan sistem elektrolisis air dalam memproduksi hidrogen memberikan banyak keuntungan diantaranya adalah ramah lingkungan dan tidak memerlukan biaya besar selama produksinya (Dimroth et al, 2006). Secara sederhana tandem device dapat digambarkan pada gambar 4.



Gambar 4. Desain konseptual reaktor penghasil hidrogen dengan
menggunakan DSSC sebagai pembangkit listrik

Penggunaan DSSC sebagai pemanen sinar matahari telah memberikan efisiensi konversi lebih dari 10%. Sistem divais gabungan dapat menjadi suatu alternatif produksi hidrogen sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan, dengan memanfaatkan DSSC sebagai pembangkit listrik yang digunakan untuk elektrolisis air, menyebabkan ini menjadi solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan energi dengan tetap menjaga kualitas lingkungan, sehingga kehidupan di bumi menjadi lebih baik dan aman.

Hidrogen yang dihasilkan dari sistem ini dapat langsung diaplikasikan pada fuel cell sebagai sistem tandem. Kendaraan yang menggunakan sistem tandem solar cell dan fuel cell memberikan kemungkinan untuk lebih nyaman dan aman dalam penggunaan, dengan kata lain kendaraan sistem tandem fuel cell dan solar cell membuka peluang untuk menggunakan air sebagai bahan bakar. Hal ini tentunya dapat mengurangi biaya produksi bahan bakar hidrogen di kilang-kilang, karena hidrogen akan diproduksi langsung pada kendaraan dan seketika langsung digunakan sebagai sumber energi, sehingga kecelakaan akibat terbakarnya hidrogen dapat dihindari. Gambar 5 menyajikan skema sederhana sistem tandem fuel cell dan solar cell ini.



Gambar 5. Skema sederhana sistem tandem solar cell dan fuel cell

Sumber Pustaka

Bard et al, 1995, Artificial Photosintesys: Solar Splitting of Water to Hydrogen and Oxigen, Acc Chem Res 28, University of Texas at Austin, Texas

Booth, D., 1993, Understanding Fuel Cells, Alternative Energy Engeenering, 707-923-4336

Dimroth et al, 2006, Hydrogen Production in a PV Concentrator Using III-V Multi Junction solar Cells, 4th World Conference on Photovoltaic Energy Conversion, Hawaii

Gratzel, 2001, Photoelectrochemical cells, insight review articles, Swiss Federal Institute of Technology, Lausanne Switzerland

Gratzel, M., 2003, Dye-Sensitized Solar Cells, Journal of Photochemistry and Photobiology C: Photochemistry Reviews, 4 (2003) 145-153

Jacoby, M., 2003, Fuel Cells Move Closer To Market, Chemical and Engeneering, (2003) 32-36

Mengenal Self Assembly Monolayers (SAMs)

Pendekatan alternatif untuk membuat nanostruktur fungsional melibatkan self-assembly molekul-molekul. Pada pendekatan ini, segera setelah proses dimulai, struktur yang diinginkan dibentuk tanpa adanya intervensi dari luar. Molekul-molekul menata dirinya sendiri dengan memanfaatkan interaksi lemah seperti ikatan hidrogen dan van der Waals.

Monolayers merupakan lapisan tipis molekul tunggal yang disusun di atas permukaan substrat. Nama self-assembled monolayers (SAMs) menunjukkan bahwa pembentukan monolayer dilakukan secara otomatis tanpa memerlukan intervensi dari luar. SAMs ini banyak ditemukan di alam untuk menghasilkan arsitektur kompleks. Salah satu contohnya adalah pembentukan membran sel dari molekul lipid. SAMs adalah sistem ideal yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai sifat antarmuka seperti gesekan, adhesi dan pembasahan.

Dua pendekatan yang digunakan untuk membuat monolayer molekul pada permukaan logam adalah metode Langmuir-Blodgett dan metode self assembly. Pada metode Langmuir-Blodgett (ditunjukkan pada Gambar 1), molekul amphiphilic disebarkan pada permukaan cairan. Lapisan ini kemudian ditransfer ke substrat padat.


Gambar 1. Metode Langmuir-Blodgett. (a) Surfaktan di air. Titik hitam adalah kepala sedangkan garis adalah ekor surfaktan. Molekul surfaktan ini tidak beraturan. (b) Penekanan monolayer dengan mendorong barrier sepanjang permukaan. (c) Monolayer tertata dengan adanya tekanan. (d) Imersi substrat ke lapisan yang tertata. (e) Transfer monolayer ke substrat. (f) Monolayer tertata pada permukaan substrat.

Pada metode self assembly, logam (atau substrat lain) dicelupkan ke larutan yang mengandung surfaktan (gambar 2). Larutannya biasanya dibuat dalam heksana untuk surfaktan rantai-panjang dan dalam etanol untuk surfaktan rantai pendek.


Proses Pertumbuhan
Pertumbuhan monolayer dapat dijelaskan dengan hukum pertumbuhan Langmuir. Laju pertumbuhan proporsional dengan jumlah situs yang tersedia dan sesuai dengan persamaan dθ /dt = k(1 − θ ), dimana θ adalah fraksi situs yang terisi dan k adalah konstanta laju. Ada dua tahapan selama pertumbuhan monolayer. Langkah pertama adalah kemisorpsi gugus kepala pada permukaan logam dan ini terjadi sangat cepat. Kemudian rantai alkana mulai menata dengan konfigurasi semua trans, yang lebih lambat daripada proses pertama. Kinetika kedua tahap tergantung pada beberapa parameter seperti konsentrasi larutan, panjang rantai alkil, dll Sebelum digunakan, permukaan monolayer dicuci dan ditiup kering dengan nitrogen.


Stabilitas dan Dinamika Permukaan

Stabilitas termal dari SAMs tergantung pada kekuatan ikatan permukaan dan kekuatan interaksi lateral. Untuk alkanethiols pada emas, stabilitas termal meningkat dengan peningkatan panjang rantai. Untuk monolayer butanethiol, desorpsi dimulai pada temperature 75°C, sedangkan monolayer octadecane mengalami desorpsi pada temperatur 170–230°C.

Transisi fasa
Sebagai akibat dari interaksi van der Waaks, monolayer alkane thiol membentuk fasa kristalin pada permukaan logam. Namun pada peningkatan temperatur sistem, terjadi peningkatan ketidakteraturan orientasi. Ini memperlemah interaksi van der Waals yang akan menghasilkan fasa liquid-like.

Aplikasi SAMs
Pada dasarnya SAMs adalah metode rekayasa permukaan substrat sehingga dapat digunakan untuk mengontrol pembasahan dan adhesi, ketahanan terhadap bahan kimia, biokompatibilitas, dan sensitisitas suatu permukaan. Modifikasi permukaan elektroda dengan SAMs dapat mengontrol transfer elektron pada reaksi elektrokimia. SAMs juga digunakan sebagai model untuk mempelajari sifat-sifat membran sel dan organel dan pengikatan sel pada permukaan. SAMs dapat membuat permukaan menjadi lebih hidrofobik sehingga dapat melindungi komponen NEMS dan MEMS yang berada di lingkungan lembab. Dengan cara yang sama, SAM dapat mengubah sifat-sifat kaca. SAM membuat monolayer hidrofobik pada kaca depan mobil untuk menjaga kaca tetap jelas saat hujan.

SAMs berguna dalam biosensors dan perangkat untuk memisahkan satu jenis molekul dari lingkungannya. Salah satu contohnya adalah penggunaan nanopartikel magnetik untuk menghilangkan jamur dari aliran darah. Nanopartikel ini dilapisi dengan SAMs yang mengikat jamur. Saat darah yang terkontaminasi disaring melalui perangkat MEMS, nanopartikel magnetik dimasukkan ke dalam darah sehingga dapat mengikat jamur dan kemudian nanopartikel ini dihilangkan dari darah.

Karakterisasi Padatan Berpori Menggunakan Persamaan Adsorpsi Isoterm Gas

Material berpori didefinisikan sebagai padatan yang mempunyai pori sehingga mempunyai luas permukaan besar. Suatu padatan dapat disebut sebagai material berpori apabila mempunyai porositas 0,2-0,95. Porositas merupakan fraksi volume pori terhadap volume total padatan. Material berpori telah digunakan secara luas sebagai katalis dan pengemban katalis pada berbagai industri kimia, adsorben pada penjernihan dan detoksifikasi air, elektroda pada sel elektrokimia, sensor, bahan isolator, dan sebagainya.

Menurut IUPAC, material berpori dapat diklasifikasikan menurut ukuran porinya, yaitu material mikropori (diameter pori kurang dari 2 nm), mesopori (diameter pori 2-50 nm), dan makropori (diameter pori lebih dari 50 nm). Pori pada material berpori dapat berbentuk silindris terbuka (open-ended cylindris), celah antara dua bidang paralel (slit-shape), dan botol tinta (ink-bottle). Penentuan model atau bentuk pori merupakan salah satu langkah penting pada penentuan distribusi pori. Biasanya penentuan ini berdasarkan atas pertimbangan struktur geometri material. Misalkan model pori silindris untuk zeolit dan model pori slit shape untuk lempung dan karbon aktif.

Pengukuran adsorpsi isoterm gas pada temperatur mendekati titik kondensasi gas adsorbat merupakan teknik konvensional dan sederhana dalam karakterisasi padatan berpori. Teknik ini dilakukan dengan mengukur jumlah gas yang diadsorpsi (adsorbat) oleh suatu padatan pada variasi tekanan gas dalam keadaan isotermal. Penentuan jumlah adsorbat dilakukan dengan mengukur pengurangan tekanan atau volume gas setelah kondisi keseimbangan adsorpsi-desorpsi tercapai. Gas yang digunakan adalah gas yang sifatnya inert seperti nitrogen dan argon.

Berbagai metode, teori dan persamaan telah dikembangkan diantaranya adalah metode Langmuir dan metode Brunauer-Emmett-Teller (BET). Keduanya digunakan untuk menentukan luas permukaan spesifik suatu padatan dari data adsorpsi isoterm gas. Luas permukaan merupakan salah satu parameter penting yang menentukan kualitas padatan berpori. Luas permukaan spesifik merupakan parameter yang menggambarkan kapasitas adsorpsi suatu adsorben. Pada bidang katalisis, luas permukaan spesifik merupakan gambaran banyaknya situs aktif yang ada pada permukaan katalis yang menentukan sifat katalitiknya. Pada elektroda sel elektrokimia, luas permukaan spesifik berhubungan dengan banyaknya transfer elektron yang terjadi pada daerah antar muka.

Pada awal perkembangan metode dan teori adsorpsi isoterm, data mengenai luas permukaan sudah cukup sebagai ukuran kualitas dari padatan berpori. Namun selanjutnya, data tentang luas permukaan tidak cukup rinci untuk menerangkan sifat adsorpsi padatan. Ukuran pori dan distribusi pori sekarang menjadi target utama sintesis material berpori.

Telah dikenal metode baru untuk pengolahan data adsorpsi isoterm yang dapat digunakan tidak hanya terbatas pada penentuan luas permukaan padatan, akan tetapi juga mampu menghitung volume dan luas permukaan pori, luas permukaan eksternal, dan distribusi pori. Metode perbandingan (t-plot dan αs-plot) berhasil mendapatkan luas permukaan pori, luas permukaan ekternal, diameter dan volume pori pada material mikropori dan mesopori.Metode MP sebagai perluasan t-plot merupakan metode untuk menentukan distribusi mikropori. Penentuan distribusi mesopori biasa digunakan metode Barrett-Joyner-Halenda (BJH) yang disusun berdasarkan atas konsep kondensasi kapiler menggunakan persamaan Kelvin dan faktor koreksi dari ketebalan statistik multilayer.

Mekanisme Reaksi Esterifikasi dengan Katalis Asam


-->
Reaksi keseluruhan:


-->
Mekanisme reaksi:








-->
Keterangan:
A. Protonasi, aktivasi gugus karbonil
B. Adisi EtOH pada gugus aktif karbonil
C. Deprotonasi oxonium ion
D. Protonasi pada gugus hidroksi sehingga menghasilkan gugus pergi yang baik (air)
E. Eliminasi air dengan bantuan lone pair elektron dari oksigen
F. Deprotonasi, sebagai tahap terakhir.
Pada sesi selanjutnya akan dibahas bagaimana mekanisme reaksi esterifikasi dengan katalis basa, serta mekanisme reaksi yang lainnya.

Zeolite Sebagai Pelapis Biokompatibel dan Antikorosi

Jutaan orang di seluruh dunia telah merasakan keuntungan dari kemajuan teknologi di bidang ilmu pengetahuan dan obat-obatan. Ilmu pengetahuan telah melahirkan teknologi komunikasi yang lebih baik dan transportasi untuk globalisasi. Sementara itu peningkatan pemahaman tubuh manusia telah meningkatkan harapan hidup dan perbaikan kualitas hidup. Tidak diragukan lagi bahwa pemahaman yang baik mengenai nanoteknologi, ilmu material, dan biologi molekular akan membantu dalam memecahkan masalah ilmiah saat ini.

Salah satu masalah yang memerlukan kolaborasi ahli teknik, ilmuwan material, dan dokter adalah bahwa untuk menciptakan bahan bio-kompatibel yang dibutuhkan untuk implan bagi pasien gigi dan ortopedi. Bioimplants sering digunakan untuk pengobatan berbagai luka dan penyakit. Penggunaan implan ortopedi logam secara luas telah meningkatkan kualitas hidup bagi jutaan orang. Namun implan ortopedi rata-rata hanya bertahan selama 10-15 tahun. Kebutuhan akan operasi penggantian implan menurunkan keberhasilan dalam proses implantasi karena adanya peningkatan luka jaringan dan infeksi. Hal ini berkorelasi dengan umur pasien dan penurunan kapasitas mineralisasi pada kerangka manusia.

Alasan utama pendeknya ketahanan implan adalah kurangnya osteointegration dalam implan. Sifat korosif cairan biologis bersama dengan beban siklis akibat gerakan mempercepat kegagalan implan. Untuk mengatasi masalah-masalah dalam implan medis memerlukan material dan tahapan produksi yang mahal.

Pengembangan material komposit baru yang memiliki kombinasi yang tepat kimia, biologi mekanik dan sifat dapat menghasilkan biomaterial yang sangat baik untuk digunakan sebagai implan. Cairan tubuh manusia mengandung ion-ion Na+ dan CI- dalam jumlah besar bersama dengan ion karbonat yang dapat menyebabkan pelarutan elektrokimia. Produk Korosi dapat menyebabkan reaksi peradangan setempat dan dapat masuk ke aliran darah dan menyebabkan reaksi alergi dari sistem kekebalan tubuh. Dengan demikian, stabilitas kimia adalah sangat penting untuk biomaterial selain sifat nontoksisitasnya. Bioimplants juga harus menunjukkan kekuatan mekanik yang tinggi untuk mencegah kegagalan oleh gaya muskuloskeletal. Meskipun banyak logam memiliki sifat mekanik yang baik, kebanyakan sangat rentan terhadap korosi dalam tubuh manusia. Di antara pilihan terbatas untuk biomaterial, titanium dan paduannya bersama dengan paduan cobalt-chromium telah digunakan sebagai implan ortopedi karena bersifat inert. Namun karena biaya tinggi, kebutuhan akan perawatan fabrikasi khusus, ketahanan aus yang rendah, dan kerapuhan mendorong ditemukannya biomaterial baru.

Beberapa bahan telah dikembangkan untuk meningkatkan pertumbuhan jaringan pada implan logam yang akan menutupi logam. Dalam kasus implan ortopedi, bio-keramik, bio-kaca, coating organik, hidroksiapatit, dan coating karbon nanotube telah digunakan untuk menumbuhkan sel-sel tulang pada implan logam. Sebagian besar penelitian lapisan biokompatibel saat ini terfokus pada modifikasi permukaan logam untuk mencapai ketahan korosi, sifat mekanik, dan bio-kompatibilitas yang diinginkan.

Zeolit merupakan polimer kristal anorganik yang tersusun atas atom Si, Al dan O. Pada tingkat atom, zeolit dibangun dari TO4 tetrahedral (T = Si dan Al) dimana setiap atom oksigen apikal dibagi di antara dua tetrahedra yang berdekatan. Zeolit memiliki struktur mikroporous berukuran seragam, dan telah secara tradisional digunakan sebagai katalis dan media pemisahan. Zeolit mempunyai sifat tidak beracun dan telah digunakan sebagai agen pembawa dan pengontrol pelepasan beberapa obat. Zeolit dengan kadar silika 100% (tanpa alumina) telah terbukti sangat tahan korosi di asam kuat, basa kuat dan media agresif korosi sumuran (misalnya, larutan NaCl). Zeolit menunjukkan adhesi yang sangat baik untuk substrat berbagai logam (Al, baja, Cu, Ni), dan dikenal memiliki stabilitas termal, kimia dan mekanik yang baik. Zeolit juga kedap untuk semua gas, dan tidak bereaksi dengan asam mineral kecuali asam HF. Sifat permukaan (misalnya, hidrofilik atau hidrofobik) dari lapisan zeolit dapat mudah dikendalikan. Coating zeolit hibrid juga telah dibuat dengan bahan anorganik lain dan menunjukkan potensi besar untuk membuat lapisan komposit biokompatibel. Sebuah lapisan komposit dengan ketahanan korosi, stabilitas mekanik, dan biokompatibilitas yang tinggi dapat menghilangkan kebutuhan akan paduan titanium yang mahal dan menggantinya dengan baja stainless yang lebih murah.

Fire Retardant pada Polimer

Sekarang ini bahan polimer telah digunakan secara luas menggantikan bahan logam di kehidupan kita sehari-hari karena bahan polimer lebih murah dan ringan. Namun bahan polimer mempunyai satu kelemahan besar yaitu sangat mudah terbakar. Untuk mengurangi sifat dapat terbakar (flammable), pemahaman yang baik tentang mekanisme pembakaran polimer diperlukan.

Ada empat tahap utama yang terlibat dalam pirolisis dan pembakaran polimer. Proses pembakaran bahan polimer biasanya dimulai dengan pemanasan pada suhu di mana mulai terjadi degradasi termal; tahap pertama ini disebut sebagai tahapan pengapian (ignition step). Pada tahap kedua, atau tahap pirolisis, polimer yang terdegradasi melepaskan molekul-molekul kecil yang mudah terbakar. Pada tahap ketiga, disebut sebagai langkah pembakaran, molekul-molekul kecil yang dihasilkan pada langkah sebelumnya bergabung dengan oksigen dan terbakar, menghasilkan asap dan panas. Panas yang dihasilkan pada langkah ketiga sebagian kembali ke polimer (feedback step) dan siklus terus terjadi hingga seluruh polimer terbakar. Dengan memperlambat salah satu dari tahapan-tahapan tersebut akan menurunkan sifat flamabilitasnya.

Penurunan sifat flamabilitas dari polimer dapat melalui penambahan senyawa tahan api (fire retardant). Fire retardant bekerja dengan cara mendinginkan, membentuk lapisan protektif atau melalui pelepasan air dan atau CO2. Fire retardant yang biasa digunakan adalah hidroksida logam, senyawa posporus, senyawa yang mengandung halogen dan clay.

Metal hydroxides
Filler anorganik menghambat pembakaran polimer dengan membuang panas dari polimer dan mengurangi suhu api. Contohnya adalah aluminium oksida hidrat, Al2O3.3H2O dan magnesium hidroksida, Mg(OH)2. Senyawa ini di dalam nyala api akan mengalami dekomposisi secara endotermik (menyerap panas), dan melepaskan sejumlah besar uap air ke permukaan polimer. Air akan melarutkan gas yang mudah terbakar. Salah satu kelemahan dari bahan-bahan tersebut adalah bahwa kadar yang tinggi diperlukan untuk mendapatkan sistem tahan api yang baik. Akibatnya sifat mekanik polimer akan menurun.

Phosphorus-containing fire retardants
Banyak retardants api tipe ini yang dikonversi menjadi asam fosfat, yang akan mengeringkan polimer yang berada dalam kondisi terbakar dan membentuk char. Sebagai contoh fosfor oxynitride dan phospham pada 10-20% wt yang ditambahkan ke poli (butylene terephthalate) memberikan peningkatan indeks oksigen dari 22 menjadi 29. Oxynitride fosfor juga ditemukan sebagai pembentuk char. Pembentukan char mempengaruhi sifat tahan api bahan polimer karena bertindak sebagai penghalang yang akan memperlambat transfer panas, mencegah masuknya oksigen ke dalam polimer dan juga mencegah degradasi polimer. Senyawa yang meningkatkan pembentukan char, seperti oxynitride fosfor dan phospham, atau alkohol polifungsional, tepung dan turunan glukosa, telah menunjukkan sifat tahan api pada komposit polimer. Dalam beberapa kasus, fire retardant yang mengandung fosfor dapat berfungsi pada fase uap dengan menghasilkan radikal yang dapat memadamkan api.

Halogenated fire retardants
Untuk memahami mekanisme pemadaman api oleh senyawa terhalogenasi, maka harus diketahui dua reaksi berikut yang terjadi ketika polimer dengan fire retardant dibakar:
(1) RX --> R' + X" dimana X adalah CI atau Br
(2) X' + RH --> R' + HX
Pada dua reaksi di atas, RX adalah halogenated fire retardant dan RH adalah polymer. Dalam kondisi kebakaran, halogenated fire retardant akan menghasilkan radikal halogen dan halogen akan bereaksi dengan polimer untuk membentuk radikal baru dan HX. HX akan memadamkan api dengan bereaksi dengan hidroksil atau hidrogen yang dihasilkan selama dekomposisi polimer. Walaupun material ini dapat memberikan fire retardant yang baik pada loading rendah