Proses Pemindai pada STM

STM merupakan mikroskop yang mampu menghasilkan gambar dalam skala atomik sehingga mampu melihat atom dan molekul.

Mekanisme Pembakaran

Pada artikel ini dibahas secara singkat bagaimana pembakaran terjadi pada senyawa organik terutama polimer

Korosi Celah

Korosi celah disebabkan oleh adanya air yang terjebak pada celah sempit antar sambungan atau retakan.

Material karbon

Saat ini nanomaterial karbon seperti CNT dan grafen banyak menarik perhatian karena sifatnya yang unik.

Zeolit

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Corrosion. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Corrosion. Tampilkan semua postingan

Korosi Celah (Cresive Corrosion)

(http://www.cdcorrosion.com/mode_corrosion/corrosion_crevice.htm)
Korosi celah merupakan salah satu jenis korosi lokal yang menyerang pada celah-celah yang umumnya terjadi karena adanya jebakan air atau elektrolit di antara celah sambungandan retakan. Jebakan air juga dapat terjadi di bawah deposit pasir, debu, scale dan produk korosi serta seal fleksibel, berpori atau berserat seperti kayu, plastik, karet, semen, asbes, kain, dan lain-lain.

Tahap – tahap terjadinya korosi celah:
-    Terjadi reaksi korosi merata
-    Pada daerah celah tempat jebakan air, terjadi penipisan kadar oksigen sehingga pembentukan OH- terhambat. Akibatnya terjadi kekurangan ion negatif.
-    Ion negatif dari luar celah, misal ion Cl- berdifusi masuk ke dalam celah untuk menyeimbangkan muatan.
-    Ion M+ terhidrolisis sehingga menyebabkan penurunan pH di dalam celah
-    Penurunan pH menyebabkan reaksi korosi semakin parah
-    Korosi celah ini bersifat autokatalitik artinya begitu reaksi awal terjadi, sel – sel tidak lagi bergantung pada keadaan luar

Pengendalian korosi celah dapat dilakukan dengan cara:
(1) memilih material yang tahan korosi.
(2) Menurunkan agresifitas larutan dengan menurunkan kandungan klorida, keasaman dan atau temperaturnya, menghambat aliran proses pembentukan deposit, dan mengeliminasi terakumulasinya hidrolisa produk korosi.
(3) Memberi unsur penghambat di larutan (inhibitors). Penerapan cara ini harus diperhitungkan dengan baik, karena apabila kandungan inhibitor yang terdapat dilarutan tidak cukup, maka pada beberapa bagian peralatan dapat terjadi kerusakan berupa lubang kecil yang dalam.
(4) Menggunakan protekasi katodik untuk peralatan yang digunakan di lingkungan laut, tetapi cara ini tidak selalu menjadi pilihan yang memungkinkan untuk aliran proses kimia yang agresif.
(5) Melakukan perencanaan dengan menghindari adanya celah-celah. Peralatan harus direncanakan lengkap dengan saluran pembuangan dan menghindarkan daerah yang menyebabkan tertahannya atau mengendapnya larutan. Sambungan las temu (butt-joint) pada struktur akan lebih baik diaplikasikan dibanding sambungan paku keling atau sambungan ulir.
(6) Membersihkan permukaan logam apabila memungkinkan, akan menurunkan terjadinya korosi sumuran dan korosi celah. Menghilangkan partikel padat yang dilakukan untuk meminimalkan pembentukan deposit.

Korosi Batas Butir

Intergranular corrosion (IGC) atau intergranular attack (IGA)atau korosi batas butir adalah serangan korosi pada daerah sepanjang batas butir atau daerah sekitarnya tanpa serangan yang cukup besar terhadap butirnya sendiri. Seperti kita ketahui, logam merupakan susunan butiran-butiran kristal seperti butiran pasir yang menyusun batu pasir. Butiran-butiran tersebut saling terikat yang kemudian membentuk mikrostuktur. Adanya serangan korosi batas butir menyebabkan butiran menjadi lemah terutama di batas butir sehingga logam kehilangan kekuatan dan daktilitasnya.
korosi batas butir pada stainless steel tersensitisasi

Sebagian besar paduan logam rentan terserang korosi batas butir ketika dihadapkan pada lingkungan agresif. Hal ini disebabkan batas butir merupakan tempat pengendapan (precipitation) dan pemisahan (segregation), dimana membuat mereka secara fisik dan kimia berbeda dengan butirnya. Presipitasi dan segregasi terjadi oleh adanya migrasi impuriti atau unsur pemadu (alloying element) menuju batas butir. Apabila kadar unsur tersebut cukup besar, maka akan terbentuk fasa yang berbeda dengan yang ada di bulk. Misalnya fasa intermetalik Mg5Al8 dan MgZn2 pada paduan aluminum dan Fe4N pada paduan besi.

Pada paduan nikel dan austenitic stainless steel, kromium sengaja ditambahkan untuk memberikan sifat ketahanan korosi. Sekitar minimal 12% kromium dibutuhkan untuk membentuk lapisan pasif yang tidak nampak pada permukaan stainless steel. Lapisan ini berfungsi untuk melindungi logam dari lingkungan korosif. Apabila stainless steel mengalami pemanasan pada 550-850 °C (misalnya selama produksi, fabrikasi, perlakuan panas, dan pengelasan), maka kromium karbida (terutama Cr23C6) akan tumbuh dan mengendap pada batas butir saat terjadi pendinginan. Sebagai konsekuensinya, wilayah yang berdekatan dengan batas butir akan kekurangan kromium. Daerah yang kekurangan kromium itu menjadi lebih rentan terserang korosi dalam lingkungan agresif dibandingkan daerah yang jauh dari batas butir.

Pengendapan atas beberapa karbida sering disebut sebagai “sensitasi”. Sensitisasi merupakan penyebab terjadinya serangan korosi batas butir. Sensitisasi terjadi saat pendinginan perlahan dari suhu 550-850 °C.
Sensitisasi pada stainless steel dapat dicegah dengan cara:
-pemanasan di atas 1000 °C kemudian dilakukan pendinginan secara cepat di dalam air. Akibatnya kromium karbida akan larut ke dalam butiran dan tidak sempat terjadi presipitasi. Metode ini dikenal dengan solution treatment.
-menambahkan titanium, niobium, dan tantalum. Ketika unsur tersebut akan membentuk titanium karbida, niobium karbida dan tantalum karbida yang lebih stabil daripada kromium karbida. Baja yang mengandung unsur-unsur penstabil ini disebut stabilized steel.
- menurunkan kadar karbon di bawah 0,02%.

Uji Ketahanan Terhadap Korosi Batas Butir
Terdapat beberapa metode untuk pengujian korosi batas butir. Secara umum digunakan larutan oksidator asam dengan pH, potensial dan temperatur tergantung pada metode yang digunakan. pemilihan metode tergantung pada steel grade dan komposisi batas butir yang akan diuji.

Beberapa uji ASTM untuk stainless steel dirangkumkan pada tabel berikut:


Uji

temperatur

waktu

aplikasi

evaluasi

A Uji screening etsa asam oksalat

Ambien

1,5 menit

hanya untuk sensitisasi kromium karbida

mikroskopik: klaisifikasi struktur etsa

B Ferric Sulphate 50% Sulphuric Acid

mendidih

120 jam

kromium karbida

Laju korosi/ kehilangan berat

C. 65% Nitric Acid

Mendidih

240 jam

Kromium karbida dan fasa sigma

Laju korosi/ kehilangan berat

D. 10% Nitric Acid 3% Hydrofluoric acid

70 °C

4 jam

Chronium carbide in 316, 316 L, 317 and 317 L

Corrosion ratio compared to solution annealed specimen

E 6% Copper Sulphate 16% Sulphuric Acid Metallic Copper

Mendidih

24 jam

Kromium karbida

Examination for fissures after bending

F. Copper Sulphate 50% Sulphuric Acid Metallic Copper

Mendidih

120 jam

Kromium karbida pada cast 316 and 316 L

Laju korosi/ kehilangan berat

Formulasi Coating

Tentunya kita sering melihat benda-benda di sekitar kita dilapisi oleh cat atau coating mulai dari jembatan, tangki air, mobil, pesawat, baja struktural, kapal, kayu, mebel, blok beton, peralatan listrik, dinding, kaleng pembungkus makanan, dan sebagainya. Coating tersebut selain digunakan untuk menambah nilai estetika, juga untuk melindungi material dari korosi, panas, aus, dan sebagainya sehingga menambah umur layanan material tersebut.



Namun taukah anda bahwa untuk tiap-tiap jenis material membutuhkan coating yang berbeda? Karena itu tahapan pertama yang sangat penting dalam penentuan formulasi coating adalah mengetahui coating itu akan digunakan untuk apa. Ini adalah pertanyaan yang sangat penting mengingat setiap coating bersifat spesifik. Sebagai contoh adalah coating primer seperti ethyl silicate-zinc-rich yang dapat memberikan ketahanan korosi pada baja struktural ternyata akan mengalami failure untuk backyard deck.

Hal yang menentukan sifat-sifat suatu coating adalah komposisi dari coating itu sendiri. Umumnya coating mengandung empat bahan dasar, yaitu binder, pigmen, solven dan aditif. Sangatlah penting bagi formulator untuk memahami fungsi dari bahan-bahan dasar ini dan mengetahui bagaimana mereka saling berinteraksi.

Binder
Binder berfungsi sebagai pengikat antar komponen coating dan juga bertanggung jawab terhadap gaya adhesi coating terhadap substrat. Terdapat banyak binder yang telah dikenal, diantaranya alkyd, vinyl, resin alam, epoxy dan urethane.

Hal yang perlu diketahui tentang binder adalah bagaimana mereka mengalami curing. Pada umumnya binder dapat mengalami curing dengan dua cara. Pertama adalah melalui evaporasi solven. Binder yang mengalami curing seperti ini disebut binder thermoplastic atau non-covertible. Kedua adalah lewat reaksi kimia selama atau setelah proses pengecatan. Binder ini dikenal sebagai binder thermosetting.

Selain itu, hal yang harus dipahami dari binder adalah viskositas. Karena merupakan komponen utama dalam coating, viskositas binder sangat menentukan viskositas coating. Coating harus mempunyai viskositas cukup rendah untuk bisa digunakan dengan peralatan pengecatan sederhana (brush, roller atau spray) serta memiliki viskositas cukup tinggi sehingga tidak menetes.

Faktor utama yang menentukan viskositas binder adalah berat molekularnya. Polimer yang mempunyai berat molekul tinggi akan lebih viskous daripada BM rendah. Ada dua cara untuk mengontrol viskositas suatu coating, yaitu dengan memvariasi berat molekul binder atau dengan menambahkan sejumlah solven.

Pigmen
Pigmen merupakan pemberi warna dari coating. Selain berfungsi dalam hal estetika, pigmen juga mempengaruhi ketahanan korosi dan sifat fisika dari coating itu sendiri.

Pigmen dapat dikelompokkan menjadi pigmen organik dan anorganik. Pigmen anorganik contohnya adalah titanium dioksida dan besi oksida. TiO2 merupakan pigmen putih yang paling banyak digunakan, biasanya untuk coating eksterior. TiO2 mempunyai indeks reflaksi yang tinggi dan stabil terhadap sinar ultraviolet dari sinar matahari yang dapat mendegradasi binder coating. Besi oksida merupakan pigmen merah yang digunakan untuk coating primer ataupun topcoat. Terdapat juga extender pigmen yang memberikan sedikit pengaruh terhadap warna dan ketahanan korosi namun banyak mempengaruhi sifat-sifat coating seperti densitas, aliran, hardness dan permeabilitas. Contohnya adalah kalsium karbonat, kaolin, talc dan barium sulfat (barytes).

Solven
Kebanyakan coating memerlukan solven untuk melarutkan binder dan memodifikasi viskositas. Hal penting yang harus diperhatikan dalam penentuan solven adalah kemampuannya dalam melarutkan binder dan komponen coating yang lain. Prinsip kelarutan sangatlah sederhana, yaitu like dissolves like. Artinya solven polar akan melarutkan senyawa yang polar juga.

Selain itu laju penguapan solven juga perlu diperhatikan. Solven yang mempunyai tekanan uap tinggi sehingga menguap dengan cepat disebut fast atau hot solvent, sedangkan yang lambat disebut slow solvent. Laju penguapan mempengaruhi sifat-sifat coating dan beberapa cacat dapat disebabkan karena ketidak cocokan dalam pemilihan solven. Jika solven menguap terlalu cepat, coating tidak cukup waktu untuk membentuk lapisan halus dan kontinu.

Aditif
Aditif adalah senyawa-senyawa kimia yang biasanya ditambahkan dalam jumlah sedikit, namun sangat mempengaruhi sifat-sifat coating. Bahan-bahan yang termasuk aditif adalah surfaktan, anti-settling agent, coalescing agents, anti-skinning agents, catalysts, defoamers, ultraviolet light absorbers, dispersing agents, preservatives, driers dan plasticizers.


Konsep Formulasi:
Setelah menentukan komponen-komponen untuk coating, maka mereka harus disatukan dalam jumlah yang sesuai. Berikut ini adalah parameter-parameter yang penting untuk formulasi coating.

1. Rasio pigmen/binder
Merupakan perbandingan berat pigmen terhadap berat binder. Topcoat biasanya memiliki P/B 1,0 atau kurang sedangkan primer coating mempunyai O/B 2-4. Coating gloss biasanya mempunyai P/B yang lebih rendah daripada coating flat.

2. Konsentrasi volume pigmen (PVC)
Pigmen volume concentration (PVC) merupakan rasio volume pigmen terhadap volume total binder dan pigmen. Dua jenis coating dapat memiliki nilai P/B yang sama namun sangat berbeda nilai PVCnya. Secara sederhana hal ini dapat dihasilkan dengan menggunakan pigmen dengan densitas yang berbeda.

Nilai PVC dimana terdapat jumlah binder yang tepat untuk menghasilkan lapisan tipis permukaan secara sempurna untuk setiap partikel dari pigmen merupakan nilai PVC kritis (CPVC). Di atas nilai CPVC, tidak ada cukup binder untuk membasahi semua pigmen. Sedangkan di bawah nilai cPVC, terdapat kelebihan binder.

Beberapa sifat coating dapat secara signifikan dipengaruhi oleh variasi formulasi PVC. Ketahanan abrasi dan kekuatan tarik terbaik biasanya terjadi apabila formulasi coating berada di bawah nilai CPVC dan secara cepat akan menurun ketika mendekati nilai CPVC. Pada formulasi di bawah CPVC, permeabilitas coating biasanya rendah dan secara cepat akan meningkat ketika CPVC dilewati. Karena adanya kerusakan sejumlah sifat-sifat fisik, kebanyakan coating eksterior kinerja tinggi seharusnya diformulasikan di atas CPVC.

3. Densitas, berat solid dan volume solid
Densitas, berat solid dan volume solid serta %binder dan %pigmen seringkali disebut sebagai konstanta fisik dari coating. Densitas biasanya dinyatakan dalam satuan pound per gallon. Berat solid coating biasanya dalam bentuk %non volatile, merupakan berat solid dibagi dengan berat total coating. Volume solid adalah %volume material non-volatil. Volume solid menentukan berapa luas are yang dapat dicoating. Kemudian %binder dan %pigmen merupakan persentase binder dan pigmen dalam coating.

Seorang formulator harus mengetahui kuantitas ini dan bagaimana untuk mengukurnya. Densitas coating diukur menggunakan pyncnometer. Berat padatan dapat dihitung dari formula coating atau ditentukan dengan menentukan berat material nonvolatil yang tetap ada setelah coating dievaporasi di dalam oven.