Proses Pemindai pada STM

STM merupakan mikroskop yang mampu menghasilkan gambar dalam skala atomik sehingga mampu melihat atom dan molekul.

Mekanisme Pembakaran

Pada artikel ini dibahas secara singkat bagaimana pembakaran terjadi pada senyawa organik terutama polimer

Korosi Celah

Korosi celah disebabkan oleh adanya air yang terjebak pada celah sempit antar sambungan atau retakan.

Material karbon

Saat ini nanomaterial karbon seperti CNT dan grafen banyak menarik perhatian karena sifatnya yang unik.

Zeolit

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Quantum Mechanics. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Quantum Mechanics. Tampilkan semua postingan

Bagaimana cahaya berinteraksi dengan materi?

Pernahkah kita memikirkan mengapa logam berkilau, mengapa gelas transparan, dan mengapa batu permata mempunyai variasi warna yang cantik? Mengapa benda-benda bisa mempunyai warna yang berbeda? Untuk dapat menjawab semua itu kita harus mengetahui interaksi yang terjadi saat cahaya mengenai materi. 

Sebelum membahas tentang interaksi antara cahaya dengan materi, marilah kita mengenal cahaya terlebih dahulu. Pertama kita harus mengetahui bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Ini berarti selain mempunyai medan listrik, cahaya juga mempunyai medan magnet dimana arah vektor kedua medan tersebut saling tegak lurus (Gambar 1). Medan listrik pada arah vertikal sedangkan medan magnet pada arah horisontal atau sebaliknya. Medan-medan ini yang akan mempengaruhi materi, misalkan medan listrik yang menyebabkan timbulnya resonansi plasmon permukaan yang telah dibahas di sini

Gambar 1. Gelombang elektromagnetik pada cahaya. Arah medan magnet tegak lurus dengan arah medan listrik. 

Cahaya juga mempunyai paket-paket energi yang besarnya tergantung pada panjang gelombang (wavelength) cahaya tersebut. Pada spektrum cahaya tampak, gelombang cahaya menentukan warna. Misalnya warna merah mempunyai panjang gelombang sekitar 650 nm, warna kuning sekitar 570 nm dan warna biru sekitar 475 nm (Gambar 2). Sedangkan cahaya putih mengandung semua warna. Energi cahaya meningkat dari warna merah ke biru. Ketika cahaya tampak mengenai suatu benda, beberapa spektrum warna diserap dan yang lain diteruskan dan dipantulkan. Perbedaan dalam hal spektrum warna apa yang diserap dan spektrum mana yang diteruskan menghasilkan warna suatu benda.

Gambar 2. Spektrum cahaya tampak

Bagaimana cahaya berinteraksi dengan materi/benda menentukan sifat optik dari benda itu. Secara garis besar sifat optik yang dapat termati pada suatu materi padat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pencerminan (reflection), perambatan (propagation), dan transmisi (transmission). Ketiga fenomana itu diilistrasikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Pantulan, propagasi dan transmisi cahaya pada medium optik

Gambar 3 menunjukkan berkas cahaya yang mengenai suatu medium optik. Sebagian cahaya dipantulkan kembali dari permukaan depan, sementara sebagian yang lain masuk dan merambat ke dalam medium. Jika cahaya ini mencapai permukaan belakang, cahaya akan dipantulkan kembali atau diteruskan hingga keluar dari medium.

Saat cahaya merambat di dalam medium optik, terdapat beberapa peristiwa yang mungkin terjadi yakni pembiasan (reflaction), absorpsi dan luminesensi (absorption and luminescence), serta penghamburan (scattering). 

Pembiasan menyebabkan kecepatan perambatan gelombang cahaya berkurang dibandingkan kecepatannya di dalam ruang hampa. Penurunan kecepatan ini menyebabkan cahaya membengkok pada bidang antar muka seperti yang dijelaskan oleh hukum Snell. Walaupun kecepatannya berkurang, pembiasan itu sendiri tidak merubah intensitas cahaya. 

Absorpsi terjadi selama perambatan cahaya di dalam medium apabila frekuensi cahaya sama (resonansi) dengan frekuensi transisi atom-atom di dalam medium. Pada peristiwa ini, intensitas cahaya berkurang. Absorpsi sangat berkaitan dengan transmisi karena hanya cahaya yang tidak terabsorpsi yang akan ditransmisikan melalui medium. Absorpsi selektif pada panjang gelombang tertentu yang menyebabkan material menjadi terlihat berwarna. Misalnya rubi yang berwarna merah karena dia menyerap cahaya biru dan hijau namun tidak menyerap merah.

Luminesensi merupakan nama yang diberikan untuk peristiwa emisi spontan cahaya oleh atom yang tereksitasi di dalam medium optik. Salah satu cara agar atom mengalami eksitasi adalah dengan absorpsi cahaya. Jadi luminesensi terjadi setelah atom mengalami absorpsi walaupun tidak semua absorpsi diikuti oleh luminesensi. Karena kadang kala setelah absorpsi, atom yang tereksitasi kehilangan energi dalam bentuk panas sebelum sempat mengemisikan cahaya. Pada peristiwa luminesensi, cahaya diemisikan ke segala arah dan mempunya frekuensi yang berbeda dengan frekuensi cahaya datang. 

Penghamburan merupakan peristiwa dimana arah cahaya berubah dan kadangkala disertai perubahan frekuensinya setelah cahaya berinteraksi denga medium. Jumlah total foton tidak berubah, namun jumlah foton yang ditransmisikan akan berkurang karena foton cahaya diarahkan kembali ke segala arah. Penghamburan disebut elastik apabila frekuensinya tidak berubah, dan disebut tak elastik apabila frekuensinya mengalami perubahansetelah peristiwa scattering. Perubahan berarti foton mempunyai frekuensi yang lebih kecil/besar daripada sebelum penghamburan. Hamburan ini dikenal dengan hamburan stokes dan antistokes yang telah dibahas di sini

Gambar 4. Pembiasan, absorpsi dan penghamburan yang terjadi saat cahaya masuk ke dalam medium. Pembiasan tidak menyebabkan perubahan intensitas cahaya sedangkan absorpsi dan penghamburan menyebabkan cahaya yang diteruskan mempunyai internsitas yang lebih rendah daripada cahaya datang.

Selain itu, peristiwa lain dapat terjadi apabila cahaya yang merambat melalui medium mempunyai intensitas yang sangat tinggi seperti pada laser. Peristiwa ini dikenal sebagai optik tak linear. Contohnya adalah penggandaan frekuensi dimana frekuensi cahaya menjadi dua kali lipat setelah berinteraksi dengan medium optik. 

Pustaka:
https://www.nde-ed.org/EducationResources/CommunityCollege/RadiationSafety/theory/nature.htm
https://en.wikipedia.org/wiki/Visible_spectrum
http://www.artinaid.com/2013/04/what-is-light-or-electromagnetism/

Apa itu Plasmon?

Minggu lalu saya diberi tugas untuk mempresentasikan sebuah jurnal yang menurut saya sangat sulit. Sulit karena terdapat banyak istilah terkait fisika sedangkan fisika bukanlah bidang saya. Salah satu istilah yang mengusik saya adalah "plasmon". Setelah bulan lalu sempat belajar tentang eksiton dan telah dibahas sedikit di sini, sekarang saya dihadapkan dengan plasmon. Akhirnya dengan waktu tinggal beberapa hari saya mencari informasi mengenai plasmon. Ternyata cukup sulit bagi saya untuk memahaminya. Mungkin karena ilmu fisika saya yang payah, atau mungkin juga karena pengaruh usia yang sudah uzur yang menjadikan saya sulit memahami hal-hak yang bersifat baru. 

Pengertian plasmon yang pertama kali saya dapat di internet: "plasmon adalah kuantum dari osilasi plasma". Respon saya saat membaca itu adalah "wow begitu dahsyat pengertiannya" hingga membuat saya pusing dan mau muntah (lebay mode on). Untuk istilah kuantum okelah saya sedikit mengerti tentang itu, namun istilah plasma dan osilasi itu yang kurang enak didengar di telinga saya. Setelah browsing sana sini ternyata osilasi itu sama dengan vibrasi atau getaran, walaupun sebenarnya "getaran" merupakan salah satu bentuk dari osilasi. Namun istilah "getaran" terasa lebih pas di hati. Mungkin karena buku-buku SD hingga SMA saya dulu semua memakai istilah getaran. Maka petualangan pencarian pemahaman dimulai dari istilah "plasma". Oke saya langsung saja saya tuliskan kembali beberapa pemahaman baru saya tentang plasmon yang saya dapatkan dari internet. 

Plasma merupakan bentuk keempat dari materi. Kita mungkin telah mengenal dengan baik ketiga bentuk materi yang lain, yaitu padat, cair dan gas. Secara sederhana kita dapat mengartikan plasma sebagai gas yang terionisasi. Karena terionisasi inilah plasma mempunyai sifat yang berbeda dengan gas netral. Walaupun bermuatan, namun secara keseluruhan plasma bersifat netral karena tersusun atas ion positif dan elektron yang bermuatan negatif dengan jumlah yang sama. 

Ternyata sifat plasma terdapat pada logam dan semikonduktor terdoping walaupun bentuk keduanya adalah padatan. Hal ini karena mereka mengandung ion-ion positif dengan posisi tetap pada kisi kristal dan elektron-elektron bebas yang dapat bergerak sepanjang kisi kristal (ingat model Drude?).

Proses terbentuknya plasma pada logam dapat diilustrasikan dengan gambar berikut:

Gambar 1. Terjadinya plasmon pada logam

Pada kondisi keseimbangan, elektron bebas tersebar membentuk awan elektron yang menyelubungi muatan positif dari inti atom. Jumlah muatan negatif sama dengan jumlah muatan positif sehingga secara keseluruhan logam bersifat netral (Gambar 1a). Misalkan kita mengganggu kondisi keseimbangan dengan menempatkan potongan logam itu di dalam medan listrik yang mengarah ke kiri. Maka elektron bebas akan bergerak ke kanan (Gambar 1b). Apabila medan listrik dihilangkan, maka elektron bebas akan bergerak ke kiri karena adanya gaya pemulih (muatan positif netto pada bagian kiri). Namun pergerakan elektron bebas akan melampaui kondisi keseimbangan sehingga elektron bebas akan terakumulasi di bagian kiri (Gambar 1c). Sekali lagi elektron bebas akan kembali bergerak ke kanan karena adanya gaya pemulih (muatan positif netto pada bagian kanan). Akibatnya elektron bebas akan bergerak bolak-balik melalui titik keseimbangan. Dengan kata lain, elektron mengalami osilasi ke kiri dan ke kanan relatif terhadap muatan positif inti atom yang tetap. Osilasi ini yang disebut dengan osilasi plasma.

Jadi secara singkat plasmon dapat didefiniskan sebagai osilasi kolektif dari elektron valensi logam. Disebut kolektif karena ini merupakan pergerakan gabungan elektron-elektron, bukan hanya disebabkan oleh pergerakan elektron tunggal. Karena berosilasi, tentunya plasmon mempunyai frekuensi yang besarnya tergantung pada densitas elektron bebas yang dipunyai oleh logam itu.

dimana ωp = frekuensi plasmon, ne = densitas elektron, e = muatan elektron, m* = massa efektif elektron dan ε0 = permitivitas ruang bebas.

Plasmon menentukan sifat optik dari logam. Cahaya yang mempunyai frekuensi lebih rendah daripada frekuensi plasmon akan dipantulkan karena elektron pada logam akan menahan (screen) medan listrik dari cahaya. Sebaliknya cahaya yang mempunyai frekuensi di atas frekuensi plasma akan diteruskan karena elektron tidak cukup cepat untuk merespon medan listrik dari cahaya. Pada kebanyakan logam, frekuensi plasma berada pada daerah ultraviolet sehingga membuat logam berkilau (reflektif) terhadap sinar tampak. Pada Gambar 2 terlihat bahwa reflektifitas berkurang drastis saat energi foton melewati energi plasmon.

Gambar 2. Reflektivitas aluminum sebagai fungsi dari energi foton.

Pada beberapa logam seperti tembaga, perak dan emas, terdapat transisi antar pita d ke s yang bercampur dengan resonansi plasmon dengan cara tertentu sehingga menggeser resonansi plasmon ke energi lebih rendah hingga pada spektrum cahaya tampak.

Resonansi Plasmon Permukaan (Surface Plasmon Resonance = SPR)
Ketika nanopartikel emas (AuNPs) menyerap cahaya, medan elektromagnetik dari cahaya menyebabkan polarisasi elektron pita konduksi (elektron bebas) pada permukaan nanopartikel. Karena medan elektromagnetik cahaya berosilasi maka polarisasi elektron juga mengalami osilasi. Osilasi ini dinamakan plasmon permukaan (surface plasmon). Karena plasmon permukaan mempunyai frekuensi yang sama dengan frekuensi cahaya maka disebut resonansi plasmon permukaan (SPR).

Gambar 3. Osilasi plasmon permukaan pada nanopartikel emas

Frekuensi SPR sangat tergantung ada ukuran dan bentuk nanopartikel. Pada nanopartikel emas yang berbentuk bola hanya ada satu frekuensi SPR sekitar 520 nm. Pada emas nanorod terdapat dua frekuensi SPR yang berhubungan dengan pita transversal dan longitudinal.

Gambar 4. Osilasi elektron pada nanorod

Frekuensi plasmonik pada nanopartikel sangat sensitif terhadap perubahan lingkungannya sehingga dapat digunakan sebagai sensor.

Gambar 5. Ilustrasi konsep dasar yang melandasi sensor analit dengan material nanoplasmonik. Pergeseran posisi puncak plasmon pada spektra ekstinsi terjadi setelah analit berinteraksi dengan ligan yang berada pada permukaan nanopartikel.



http://www.stratech.co.uk/cytodiagnostics-inc/gold-nanoparticle-properties
http://rsfs.royalsocietypublishing.org/content/3/3/20130006
https://www.ifm.liu.se/applphys/molphys/research/biosensing_using_nanopart/index.xml
Fox, Mark. Optical Properties of Solids. Oxford University Press.

Upconversion dan Aplikasinya

Ketika suatu benda dikenai cahaya dengan energi tertentu maka akan terjadi eksitasi elektronik. Keadaan tereksitasi ini merupakan keadaan yang tidak stabil dan akan kembali ke keadaan dasarnya dengan mengemisikan kembali cahaya dengan energi yang lebih rendah. Energi cahaya emisi lebih rendah daripada energi cahaya eksitasi karena adanya proses nonradiatif. Perhatikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Jablonski. Setelah absorpsi foton, maka elektron akan mengalami eksitasi elektronik dan vibrasional. Kemudian elektron akan mengalami relaksasi vibrasional dan mengemisikan foton dengan panjang gelombang lebih besar.

Saat foton yang diemisikan mempunyai energi yang lebih rendah daripada foton yang diabsorpsi, maka proses ini dikenal sebagai proses downconversion. Pada kondisi tertentu energi foton yang diemisikan dapat lebih tinggi daripada foton yang diabsorpsi. Proses ini dikenal dengan sebutan proses upconversion. Proses upconversion ini terjadi melalui mekanisme eksitasi yang melibatkan absorpsi lebih dari satu foton seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Perbedaan antara downconversion (A) dan upconversion (B)

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa upconversion terjadi karena adanya absorpsi dua atau lebih foton secara berturutan. Proses absorpsi foton pertama menghasilkan keadaan tereksitasi metastabil yang kemudian akan mengabsorpsi foton kedua untuk mencapai tingkat energi yang lebih tinggi. 

Mekanisme yang lain melibatkan proses transfer energi antara dua keadaan metastabil. Saat dua keadaan metastabil berinteraksi misal dengan bertumbukan, maka energi salah satu metastabil akan ditransfer ke metastabil yang lain. Sehingga terbentuk satu keadaan tereksitasi lebih tinggi dan satu keadaan terdeeksitasi.

Gambar 3. Tingkat energi ion thulium (Tm3+) pada ZBLAN fiber menunjukkan bagaimana eksitasi dengan laser 1140 nm dapat menghasilkan emisi laser biru 480 nm.

Salah satu aplikasi dari upconversi adalah untuk membunuh sel kanker dalam. Pada terapi fotodinamik, pasien diberikan obat yang sensitif terhadap cahaya yang akan teradsorpsi pada sel tubuh terutama sel kanker. Kemudian laser merah diberikan pada daerah kanker. Sinar laser merah itu akan mengaktivasi obat yang kemudian menghasilkan bentuk reaktif dari oksigen (oksigen singlet) yang akan membunuh sel kanker. Namun sayangnya daya tembus sinar laser merah tidaklah jauh. Sehingga terapi ini tidak dapat diberikan apabila sel kanker berada pada lapisan dalam. Namun dengan penambahan material upconversion, sel kanker dalam dapat juga diobati. Caranya adalah dengan menggunakan radiasi laser inframerah dekat. Laser inframerah dekat mempunyai daya tembus yang lebih baik daripada laser merah sehingga dapat mencapai lapisan sel yang lebih dalam. Kemudian material upconversion akan mengubah laser inframerah dekat ini menjadi laser merah yang dapat mengaktivasi obat.

Gambar 4. Nanopartikel upconversion dapat mengubah laser inframerah dekat menjadi laser merah sehingga jangkauan terapi fotodinamik menjadi bertambah dan dapat mengobati sel kanker pada jaringan dalam.

Aplikasi lain dari material upconversion adalah untuk meningkatkan efisiensi sel surya. Sel surya bekerja mengubah cahaya menjadi listrik. Cahaya yang dapat diubah menjadi listrik harus mempunyai panjang gelombang yang sesuai dengan energi celah pita material semikonduktor yang digunakan. Cahaya yang mempunyai panjang gelombang lebih besar tidak dapat digunakan. Namun dengan adanya material upconversion, panjang gelombang cahaya ini akan diubah menjadi lebih pendek sehingga dapat diubah menjadi energi listrik oleh sel surya. Sehingga efisiensi sel surya secara keseluruhan akan meningkat. 

Gambar 5. Sel surya yang dilengkapi dengan material upconversion (UC). Cahaya dengan energi kecil (panjang gelombang besar) akan ditingkatkan energinya oleh material UC sehingga dapat berinteraksi dengan semikonduktor pada sel surya.


Pustaka:
http://en.wikipedia.org/wiki/Fluorescence
http://www.rp-photonics.com/upconversion.html
http://www.medscape.com/viewarticle/750940_2
http://www.umassmed.edu/news/news-archives/2014/10/tuning-light-to-kill-deep-cancer-tumors/

Spektroskopi Penerobosan Elektron Tak Elastik

Spektroskopi Penerobosan Elektron Tak elastic atau Inelastic electron tunneling spectroscopy (IETS) merupakan spektroskopi yang banyak digunakan untuk identifikasi kimia, investigasi ikatan dan deteksi senyawa. IETS juga banyak digunakan dalam bidang nanoscience dan molecular junction.

IETS mempunyai persamaan dengan spektroskopi inframerah dan Raman karena ketiganya digunakan untuk mendeteksi vibrasi molekul. Spektroskopi inframerah merupakan spektroskopi vibrasi yang paling terkenal dan telah dikembangkan dengan baik untuk mempelajari molekul yang teradospsi pada permukaan substrat. Spektroskopi Raman digunakan ketika spektroskopi inframerah sulit atau bahkan mustahil digunakan seperti pada kasus molekul yang terlarut di dalam solven yang tidak tembus cahaya inframerah. Atau digunakan pula untuk tipe vibrasi yang tidak aktif terhadap inframerah. Keduanya dibandingkan dengan IETS mempunyai sensitivitas yang lebih rendah. Karena interaksi elektron dengan vibrasi molekul lebih kuat daripada dengan foton, maka satu monolayer molekul sudah cukup untuk menghasilkan spektra IET yang baik. Selain itu pada IETS tidak ada aturan seleksi seperti pada IR dan Raman. Mode vibrasi aktif baik terhadap inframerah maupun terhadap Raman akan nampak di spektra IET. 

IETS ditemukan pada tahun 1966 oleh Jaklevic dan Lambe ketika mereka mempelajari efek tunneling pada metal-oxide-metal junction. Alih-alih menemukan efek struktur pita, mereka menemukan pola karakteristik d2I/dv2 yang berhubungan dengan eksitasi vibrasional molekul pengotor yang ada pada lapisan insulator.

Gambar 1. Gambaran skematis sistem IETS. Persegi panjang menunjukkan elektroda. Di antara elektroda terdapat molekul yang akan dipelajari. Energi vibrasi molekul ditunjukkan dengan garis putus-putus.

Untuk mengetahui bagaimana IETS bekerja, perhatikan Gambar 1. Saat potensial bias diberikan pada kedua elektroda, elektron akan tunnel dari elektroda kiri ke elektroda kanan. Pada gambar paling kiri, elektron mengalami tunneling secara elastik, yaitu tidak ada perubahan energi sebelum dan sesudah tunneling. Pada gambar bagian tengah, apabila potensial bias diperbesar sehingga potensial bias ini sesuai dengan tingkat energi vibrasi molekul, maka saat elektron akan kehilangan energi sebesar perbedaan energi vibrasi ini. Elektron dikatakan mengalami tunneling secara tidak elastik. Tunneling tak elastik ini merupakan jalur transpor elektron baru selain tunneling elastik. Sehingga pada keadaan ini terdapat dua jalur transpor elektron, secara elastik dan secara tak elastik. Akibatnya peningkatan arus akan lebih besar setelah potensial bias melewati titik ini (Gambar 2). Pada Gambar 1 bagian kanan, molekul mengalami relaksasi dan mengemisikan energi. Apabila energi ini ditangkap oleh elektron maka energi elektron akan kembali seperti semula. Ini dinamakan tunneling elastik tingkat kedua. 

Gambar 2. Saat potensial bias sesuai dengan energi eksitasi vibrasi maka arus tunneling akan bertambah


Pustaka
http://pubs.rsc.org/en/Content/ArticleHtml/2011/CS/c0cs00155d
http://en.wikipedia.org/wiki/Inelastic_electron_tunneling_spectroscopy


Konduksi Balistik

Pada teori konduktivitas kita mengenal istilah jarak bebas rata-rata (mean free path), yaitu jarak rata-rata yang dapat ditempuh oleh elektron sebelum bertumbukan. Tumbukan ini yang menyebabkan proses penghamburan elektron. Tanpa penghamburan, elektron akan mematuhi hukum kedua newton dan elektron akan senantiasa bergerak semakin cepat. Hamburan ini dipengaruhi oleh adanya pengotor dan cacat kristal serta adanya atom/molekul penyusun medium yang terus berosilasi (pada padatan) atau atom/molekul yang bergerak bebas di dalam medium (pada gas). Hamburan menyebabkan suatu penghantar mempunyai hambatan (resistivitas) dan terjadinya kehilangan energi dalam bentuk panas.

*Teori klasik mengenai konduktivitas pada logam dapat dilihat di sini.

Coba kita bayangkan suatu kawat yang sangat kecil berukuran nanometer, dan panjangnya lebih kecil daripada jarak bebas rata-rata elektron. Maka pada kasus ini elektron tidak akan mengalami penghamburan. Elektron hanya akan berubah gerakannya saat bertumbukan dengan dinding konduktor. Tanpa hamburan, elektron akan bergerak tanpa hambatan dari satu ujung kawat ke ujung yang lain. Kehilangan energi hanya terjadi pada kontak, namun tidak ada kehilangan energi pada konduktor. Proses ini dikenal dengan sebutan transpor balistik karena elektron bergerak seperti peluru yang ditembakkan. Dibandingkan dengan kecepatan termalnya, kecepatan balistik jauh lebih besar.

Gambar 1. (a) Saat panjang kawat penghantar (L) lebih besar daripada jarak bebas rata-rata (l), terjadi hamburan sepanjang penghantar dan mekanisme transpor elektron yang terjadi adalah difusi. (b) Saat L sama atau lebih kecil daripada l, tidak terjadi hamburan elektron dan mekanisme transpor yang terjadi adalah balistik.

Pada transpor balistik, konduktansi menjadi terkuantisasi. Quantum konduktan (G0) merupakan nilai konduktan terkecil yang nilainya adalah G0 = 2e2/h. Semua konduktor balistik sempurna akan mempunyai konduktan yang nilainya kelipatan bilangan bulat dari G0. Agar transpor balistik teramati, energi termal harus jauh lebih kecil daripada εiεi-1Dimana εi - εi-1 adalah pemisahan energi antara sub band level.



Konduksi balistik dapat teramati pada nanowire logam. Konduksi balistrik berbeda dengan superkonduktor karena tidak adanya efek Meissner. Konduktor balistik akan berhenti menghantarkan apabila driving forcenta dimatikan, namun pada superknduktor, arus akan selalu mengalir walaupun sumber tegangan diputus.

Pustaka:
http://en.wikipedia.org/wiki/Ballistic_conduction
http://www.jsap.or.jp/jsapi/Pdf/Number03/CuttingEdge1.pdf

Mengenal Eksiton

Apakah eksiton itu?
Eksiton adalah pasangan hole dan elektron yang terikat oleh gaya elektrostatik. Eksiton merupakan quasipartikel netral yang dapat teramati pada semikonduktor, insulator dan kristal molekular. 

Bagaimana eksiton terbentuk?
Absorpsi foton oleh suatu material semikonduktor atau insulator menyebabkan transisi elektronik dari pita valensi ke pita konduksi. Akibat dari transisi ini adalah terbentuknya hole pada pita valensi dan elektron pada pita konduksi. Karena muatannya berlawanan, terjadi interaksi coulomb antara keduanya. Pasangan hole dan elektron inilah yang disebut eksiton. Seperti halnya pasangan proton dan elektron di dalam atom, eksiton juga dapat mengalami eksitasi bila dikenai foton yang sesuai dengan energinya. Sifat optik dari eksiton sangat penting untuk aplikasi optoelektronik, yaitu peralatan elektronik yang berhubungan dengan cahaya. 

Gambar 1. Proses terbentuknya eksiton. (A) Pada semikonduktor dan insulator, terdapat pita valensi yang terisi penuh dengan elektron dan pita konduksi yang kosong. Celah di antara pita valensi dan konduksi disebut energi celah pita (Eg). (B) Saat dikenai foton, elektron dari pita valensi tereksitasi ke pita konduksi menghasilkan hole pada pita valensi. Hole (bermuatan positif) dan elektron (bermuatan negatif) saling menarik dengan gaya elektrostatik. Pasangan hole dan elektron ini yang disebut eksiton.


Tipe eksiton
Eksiton dapat teramati pada berbagai material kristalin. Terdapat dua tipe eksiton, yaitu eksiton Wannier-Mott dan Frenkel. Eksiton Wannier-Mott disebut juga sebagai free exciton karena dapat bergerak dengan bebas di dalam kristal. Eksiton ini biasanya teramati pada material semikonduktor. Sedangkan eksiton Frenkel terikat kuat pada suatu atom atau molekul dan hanya dapat bergerak melalui mekanisme hopping dari satu atom ke atom lain. Eksiton ini ditemukan pada kristal insulator dan kristal molekular.

Gambar 2. Tipe-tipe eksiton. Eksiton Wannier-Mott mempunyai radius yang besar dan meliputi banyak atom. Frenkel eksiton sebaliknya mempunyai radius yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran sel satuan.

Secara sederhana, eksiton dapat dipandang sebagai sistem hidrogenik (proton+elektron) positronium (positron+elektron). Tidak semua transisi elektronik menghasilkan eksiton. Hanya pada kondisi tertentu eksiton terbentuk. Eksiton stabil akan terbentuk bila energi ikat elektrostatiknya cukup untuk melindungi eksiton dari fonon. Energi maksimum dari fonon termal pada temperatur T adalah kbT dimana kb adalah konstanta Boltzman. Maka eksiton akan stabil apabila energi ikat eksiton lebih besar daripada kbT. Eksiton Wannier-Mott eksiton mempunyai energi ikat kecil sekitar 0,01 eV. Pada temperatur kamar, besarnya kbT adalah 0,025 eV sehingga eksiton ini hanya teramati pada temperatur cryogenik. Berbeda dengan eksiton Frenkel yang mempunyai energi ikat yang besar, antara 0,1-1 eV, sehingga eksiton ini stabil pada temperatur kamar. 

Transisi Optik Eksiton Wannier-Mott
Eksiton dapat terbentuk jika group velocity (v) dari elektron dan hole sama. Karena pada k = 0, group velocity keduanya selalu sama, maka absorpsi eksitonik yang dapat diamati pada daerah dekat dengan bandgapnya. 

Gambar 3. (a) tingkat energi eksiton (b) absorpsi teoretis eksiton Wannier-Mott


Pustaka:
https://www.lanl.gov/science/1663/june2010/story2a.shtml
http://ocw.mit.edu/courses/electrical-engineering-and-computer-science/6-973-organic-optoelectronics-spring-2003/lecture-notes/7.pdf
http://www.physics.hku.hk/~phys2235/lectures/lecture9.pdf